Snapshot Geo Politik – Artikel Hukum Bisnis OilGasMine – Energi- AGUNGSS

14 Mei 2016

Sekilas Pembahasan BLOK Masela dari Aspek PSC

Sebagai Independent Bisnis Lawyer, Penulis mencoba mengamati masalah terkait dengan Blog Masela dimana menurut Berita yang Penulis simak dan terakhir ada di CNN Indonesia disebutkan (Catatan Penulis sempat menfoto Skema gambar dari CNN Indonesia dan meng-upload di tulisan ini)   :

BLOK MASELA CNN IndonesiaPerkiraan Cadangan Gas Blok Masela adalah sebesar 10.73 Trilliun Kaki Kubik,  sedangkan Kondensat 24,460 Barrel /Per Hari.

Blok Masela CNN 2Karena perkiraan besarnya Potensi   kandungan Cadangan Gas dan Kondensat,  maka Blok Masela  menjadi fokus perhatian didunia MIGAS di Indonesia,  bahkan terindikasi terlibatnya “Nuansa Politik” yang sangat kental antara Menteri ESDM dan Kemenko Maritim, yang pada akhirnya diambil Putusannya oleh Presiden, untuk melakukannya dengan Pembangunan Kilang Gas LNG dan Minyak di Daratan. masela 3

Dengan keputusan ini maka perdebatan Pro dan Con antara Onshore Liquified Natural Gas (OLNG) dan Floating LNG (FLNG) menjadi reda.

Yang penting kita amati adalah bahwa  putusan Presiden sudah diambil, sehingga polemik ketidak pastian bagi Investor maupun dunia Investasi dalam bidang MIGAS di Indonesia, atas masalah cara penanganan pengelolaan Blok Masela, telah diputuskan dengan tegas dilaksanakan di Darat -On Shore sehingga “Terhentilah Polemik Kegaduhan tersebut”, lepas daripada apakah putusan ini lebih bernuansa Politik atau Komersial.

Hitungan Perkiraan Biaya yang Muncul  berdasarkan data yang Penulis catat dari CNN Indonesia diatas terlihat :

Kilang Darat Onshore  : Pulau  Tanibar – US$ 19. 3 Milyar,  Pulau Babar US$ 20, 9 Milyar, Pulau Aru US$ 22, 3 Milyar

Sedangkan Kalau Di Offshore  / Kilang Laut  US$ 14,8 Milyar

Sedangkan Versi Komenko Maritim : Di Darat  US$ 16 Milyar; Dilaut US$ 22 Milyar

Terlepas  atas perhitungan  mana yang benar dan yang mana yang salah, atas Pro dan Con diatas, yang jelas, keributan antara Internal Departemen tersebut telah menyebabkan munculnya “Kegaduhan”, yang tidak kalah gaduhnya dengan keributan masalah Divestasi di PT Freeport, pada saat Menteri ESDM  muncul di sidang terbuka di DPR yang disiarkan langsung terbuka di Media TV di Indonesia, sehingga terasa menimbulkan “Rasa Adanya Ketidak Pastian Kebijakan dari  Pemerintah terkait Investasi Pertambangan UMUM maupun  MIGAS di Indonesia”.

Tarik menarik debatan terkait cara dan metode mana yang paling effesien yang harus dilakukan untuk mengeluarkan Gas serta Minyak dari Blok Masela,  menjadi bahan yang rame diperbincangkan di masayarakat luas.

Bahkan silang pendapat antara Kementerian ESDM dan Versi Kementerian Koordinator Maritim muncul kepermukaan dan menjadi bahan seminar, diskusi baik di forum seminar serta Media Elektronik TV termasuk diberitakan terakhir setelah adanya Putusan Presiden di Cimage005NN Indonesia,  yang sempat Penulis photo dan upload dalam tulisan ini.

Hal yang menarik yang Penulis amati adalah     bahwa   analisa “Perbedaan Penanganan” antara Onshore LNG dan Offshore LNG   tersebut, nampaknya juga merembet ke “Besaran Cost Recovery”, dimana digambarkan seolah-olah Perusahaan Kontraktor Migas  berusaha mengambil keuntungan dari Cost Recovery.

Penulis yang pernah bekerja 5 (lima) Tahun sebagai Inhouse Legal Counsel di VICO perusahaan Minyak Amerika yang beroperasi di Kalimantan Timur, merasakan  masalah klaim tuduhan adanya keuntungan yang direncanakan dilakukan oleh Kontraktor Migas  melalui Cost-Recovery adalah “hal yang terbilang aneh” dan “terlalu paksa diada-adakan”, karena tidak mungkin Perusahaan Investor Migas secara sengaja mentargetkan Keuntungan dari mengambil selisih besaran Cost – Recovery, karena Methode Cost Recovery adalah masalah di – “Gantinya semua” :

(i) Biaya baik Capex (Capital Expenditure) sesuai  Life Time  Barang Capital Tanggible yang dibutuhkan Kontraktor Migas, misalnya Kendaraan atau Gedung, tergantung golongannya yang tersebut dalam Golongan Barang Capital di Lampiran Perjanjian Production Sharing Contract (PSC)  maupun

(ii) Biaya Opex (Operating Expenditure) yang setuju diganti oleh Pemerintah pada setiap tahun berjalan,

pada saat Usaha Kegiatan Migas dinyatakan  “Komersial” untuk dilanjutkan ditingkatkan dari Tahapan Explorasi ke tahapan Exploitasi, Produksi hingga penjualan, yang diawali dengan disetujuinya POD (Plan Of Development)   oleh Menteri ESDM, sesuai isi ketentuan jiwa PSC antara Pemerintah atau SKKMIGAS dengan Kontraktor  MIGAS.

Perlu  diketahui bahwa kebiasan yang ada didunia Migas,  adalah bahwa jika produk akhirmya  adalah LNG, maka harusnya ada Pembeli LNG terlebih dahulu yang berminat untuk menjadi Pembeli Jangka Panjang,  baru setelah itu akan dibangun Fasilitas LNG Plant tersebut oleh Kontraktor Migas, karena Perbankan yang membantu Pembiayaan Fasilitas LNG tersebut,  baru setuju untuk membiayai Kontraktor  Migas /LNG, jika Kontraktor MIGAS dapat  menunjukan secara nyata adanya Dokumen Pembelian  Jangka Panjang dari LNG tersebut antara Kontrak MIGAS/LNG sebagai Penjual dan Pembeli LNG tersebut kepada Pihak Perbankan.

Selanjutnya dalam kebiasaan yang ada, terdapat pemisahan antara Kegiatan Hulu     (Upstream)  dan Hilir (Down Stream), dimana Kontraktor Migas apalagi Investor Asing  Pengusaha MIGAS tentunya telah menghitung kalkulasi Investasi yang disuntik untuk Proyek Pelaksanaan Kegiatan MIGAS tersebut yang semula hanya menghitung semua Biaya Investasi baik Capex dan Opex,  yang dibutuhkan dari Pre -Operasting Cost sampai biaya fasilitas produksi guna Minyak dan Gas keluar dari Sumur Produksi hingga ke  Well Head Offshore,  yaitu perkiraan fluktuasi Index Harga Pasaran MIGAS serta LNG yang dikaitkan dengan kapan “Selesainya Fasilitas Kegiatan Hilir operasi Explorasi, Exploitasi,  hingga produksinya”.

Dengan demikian Mulai Kapan atau Tahun keberapa Completion dari Fasilitas Migas tersebut selesai  dipasangnya Well Head untuk siap Produksi keluar Crude Oil dan Gas di permukaan Well Head Sumur, untuk siap dijual dan dipasarkan;

Maka  sudah terbayangkan perkiraan Kapan Cash-In dari Hasil Nyata Penjualan Produk  Migas tersebut sebelum diproses (masih Raw Crude Oil) guna dijual kepada Para Buyers atau Pembeli dari Produk Crude Oil serta  Gas tersebut, sehingga bisa dihitung kapan atau berapa tahun Balik Modal atau Return of Investmentnya (ROI) bagi Investor Kontraktor Migas .

Dengan demikian, jikalau produk Crude Oil atau Gas itu hendak diproses dan dipisah-pisahkan  menjadi Produk lain, melalui Proses Kilang atau Refinery, tentunya hal ini adalah merupakan kegiatan tahapan lain yaitu “Tahapan Kegiatan Hilir”,  bagi Investor/Kontrak Migas Explorasi Produksi tersebut, kecuali dari permulaan sewaktu menandatangani Perjanjian PSC antara SKKMIGAS dan Inpex serta Shell telah meliputi pembangunan Fasilitas LNG di Darat.

Oleh karenanya, jika harus ada pembelian/pemasangan pipa lagi dengan panjang beberapa KM. yang akan disambungkan dari Well Head dari Sumur yang berasal dari Lautan atau Offshore,  untuk disambungkan ke Darat khususnya ke Fasilitas Kilang atau Refinery di Darat, termasuk Pembebasan Tanah didarat untuk pembangunan Fasiltas LNG Darat,  guna menyebabkan adanya Multiplier Effek, seperti dikehendaki oleh Menko Maritim, dengan adanya Proses Produksi lain yang diproses di Kilang Darat atau Refinery tersebut, tentunya hal ini adalah “diluar scope” atau “Ruang Lingkup Tanggung Jawab”  dari Kontraktor MIGAS Explorasi & Produksi yang tersebut didalam Perjanjian PSC yang telah ditandatangani oleh Para Pihak, dimana pada akhirnya menjadi “Pertanyaan Besar” :  Siapa Yang Harus Mendanai Awal kegiatan Investasi HILIR dari Onshore Kilang LNG ini.

Dengan demikian perhitungan selesainya Pembangunan Fasilitas Produksi yang semula hanya Kewajiban Melakukan Explorasi, Exploitasi dan Produksi hingga mengeluarkan Minyak dan Gas dari Sumur Produksi yang berada di Laut  hingga Well Head di Platform atau Faslitas Rig di Laut membutuhkan Berapa Lama Tahun Tertentu, maka dengan keinginan dari Pemerintah untuk membangun LNG Darat dibutuhkan lagi Perpanjangan Masa beberapa tahun lagi untuk Pembangunan Pipa beberapa KM  guna disambungkan ke Kilang LNG Darat maupun pembebasan Tanahnya;

Maka terlihat  jelas akan terjadi “Perbedaan” Perkiraan Harga Index dari Harga Minyak Crude Oil serta Gas yang telah diproses di Darat, dibanding dengan di Laut, karena Faktor ” Tambahan Scope Pekerjaan” serta elemen “Tambahnya Waktu” perampungan Perkerjaan Tambahan Pemesangan Pipa beberapa KM, Pembebasan Tanah serta Pembangunan LNG Darat.

Dengan demikian, kemungkinan Besar Inpex maupun Shell akan  minta Jaminan kepada Pemerintah atau SKKMIGAS untuk adanya “Jaminan” ditutupinya Nilai Jumlah Volume Total Nilai Penurunan MIGAS, jika “Harga Crude Oil atau Produk Gas” “turun” pada Saat Penyelesaian Pemasangan Pipa hingga disalurkan ke LNG Plant Darat dari saat Perkiraan Penyelesaian Pemasangan Well Head di Rig Offshore, yang bisa dinilai juga dengan cara mendapatkan “Perpanjangan Extension beberapa Tahun” yang diperhitungkan “Senilai dengan Total Kerugian Penurunan Harga Migas tersebut”.     

Kalau di Bontang, Kalimantan karena Sumur dari Vico adalah di Daratan, maka masalah adalah berbeda dan sudah disepakati adanya pembangunan Refinery tersebut setelah ada Pembeli dari LNG jangka Panjang.

Berangkat dari uraian diatas, tentunya kita harus lebih dalam mempelajari bagaimana bunyi Perjanjian PSC antara SKKMIGAS dengan Inpex dan Shell yang telah ditandatangani, apakah scope (i) untuk menyambung Pipa dari Sumur yang di Laut /Offshore serta Pembuatan Kilang LNG  di Didarat bukan di Laut mengingat sumur dan Blok Masela adalah di Laut dan bukan didarat, serta (ii) Pembangunan Fasiltas LNG Darat, maupun (iii) ongkos pembebasan tanah  adalah meliputi kewajiban dan tugas dari Inpex dan Shell,  sesuai dengan isi ketentuan Perjanjian PSC yang telah ditandatangani antara Inpex- Shell dengan SKKMIGAS.

Sekian ulasan ringkas atas Masalah Blok Masela tanpa melihat dan mengetahui isi dari Perjanjian PSC terkait.

Jakarta, 14 Mei 2016]

Agung Supomo Suleiman

Independent  Business Lawyer

4 Komentar »

  1. Analisanya mantap pak.. kasus berat ini..

    Suka

    Komentar oleh Angwie — 19 Mei 2016 @ 1:12 am | Balas

  2. I’m gratified by the manner in which https://agungssuleiman.wordpress.com deals with this kind of topic! Generally on point, often controversial, always well-researched and challenging.

    Suka

    Komentar oleh Jenelle Lachapelle — 28 November 2016 @ 2:25 am | Balas


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar

Buat Blog di WordPress.com.

GLOBAL INDONESIA DAILY

MENANGKAP FENOMENA PERISTIWA DUNIA DAN INDONESIA

Mollyta Mochtar

Travel and Lifestyle Blogger Medan

The Signs

Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan?’ (adz-Dzariyat: 20)