Snapshot Geo Politik – Artikel Hukum Bisnis OilGasMine – Energi- AGUNGSS

6 Agustus 2018

SIASAT JITU PEROLEH 51% SAHAM PT FI DILUAR JALUR DIVESTASI 51% FCX

Sorotan Protes Para Pengamat / Kalangan Masyarakat atas Tingginya Nilai Akuisi Pembelian sebesar USD 3,85 atau Rp. 56 Trilliun.
Mengingat besarnya Nilai Pembelian USD 3,85 Milyar atau Rp 56 Trilliun atas 40% Hak Partisipasi PT Rio Tinto atas Bagian Pengingkatan Produksi diatas 115 K Ton Per Hari, yang dapat ditukar dengan Saham, maka “Jumlah Nilai Akuisisi Mana” mendapatkan banyak Soroton, Tanggapan, kritikan dari Para Pengamat maupun Kalangan Masyarakat luas, dimana banyak yang bertanya kenapa tidak menungu saja berakhirnya 30 Tahun masa Kontrak Karya yang akan berakhir tanggal 30 Desember 2021.
HAK Perpanjangan dari PT Freeport Indonesia Company dalam COW /KONTRAK KARYA) :
Perlu diketahui bahwa secara Hukum Kontraktual – Kontrak Karya 30 Desember 1991, Pasal 31 :
menentukan
Article 31
Term
1, This Agreement shall become effective on the date of the Signing of this Agreement.
2. Subject to the provisions herein contained, this Agreement shall have an initial term of 30 Years from the date of the signing of this Agreement; provided that the Company shall be entitled to apply for two successive ten year extensions of such term, subject to Government approval. The Government will not unreasonably withhold or delay such approval. Such application by Company may be made at any time during the term of this Agreement, including any prior extension.
CATATAN :
Berdasarkan ketentuan Pasal 31 dari Kontrak Karya diatas, PT Freeport berhak mengajukan Perpanjangan 2 X 10 Tahun, dengan persyaratan disetujui oleh Pemerintah.
Pemerintah tidak akan menahan atau menunda persetujuan tersebut secara “tidak wajar”. Permohonan perpanjangan diatas oleh Perusahaan dapat diajukan setiap saat selama jangka waktu pada masa periode COW ini.
Berdasarkan ketentuan Pasal 31 COW diatas, Pemerintah berhak untuk menahan atau menunda persetujuan permohonan Perpanjang kontrak dari PT Freeport Indonesia, jika Pemerintah mempunyai alasan “yang Wajar”
Pertanyaan Mendasar Secara Hukum Kontraktual adalah :
Apakah jika Harga Akuisi atau Pembelian dari Hak Partisipasi Hasil Produksi PT Rio Tinto, yang nantinya berhak di Konversi atau ditukar menjadi Saham yang dikeluarkan oleh PT Freeport adalah terlalu tinggi, dapat dijadikan dasar alasan hukum oleh Pemerintah untuk menahan atau menunda Permohonan Perpanjangan dari PT Freeport dengan alasan harga Akuisi terlalu tinggi sehingga tidak wajar ?
ANALISA JAWABAN :
Penulis amati bahwa PT Rio Tinto sebenarnya merupakan Pihak lain yang tidak terdapat dalam Perjanjian Kontrak Karya (COW) 30 Desember 1991 yang telah ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Menteri Pertambangan dan Energi dengan Freeport -McMoran Copper & Gold Inc.
Terindikasi di Media bahwa Pemerintah tahun 2016, mengakui adanya Hak Partisipasi Hasil Produksi 40% dari PT Rio Tinto atas Bagian Peningkatan Produksi diatas 115 Ton Per Hari (“115K“) yang ditandatangani oleh PT Rio Tinto dengan dengan PT Freeport Indonesia.
Namun secara Hukum Kontraktual, Perjanjian Kontrak Karya 30 Desember 1991 antara PT Freeport dan Pemerintah, terkait Kewajiban Divestasi 51% oleh FCX kepada Pemegang Saham Nasional, adalah hanya mengikat PT Freeport dan Pemerintah Indonesia, dan bukan dengan PT Rio Tinto.
Maka Harga USD 3,85 Milyar yang disepakati oleh PT Rio Tinto dan PT Inalum atas “Pembelian Hak 40% atas Bagian Peningkatan Produksi diatas 115 K” yang berhak di Konversi menjadi saham yang dikeluarkan PT Freeport Indonesia, bukan merupakan implementasi pelaksanakan Harga Divestasi dari Saham FCX yang yang diatur dalam Pasal 24 ayat b dari COW, dimana ditentukan secara Rinci sebagai berikut (Terjemahan Text Bahasa Indonesia – dimana KONTRAK Karya dibuat dalam 2 Bahasa – Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia) yang terbaca dalam :
Pasal 24 b.Kontrak Karya (COW) :
“SALIN”
Selama Periode 12 Bulan Pertama setelah Ulang Tahun ke 10 tanggal ditandatanganinya COW dan setiap periode 12 bulan setelah itu untuk sebanyak 10 periode, sepanjang diminta oleh Pemerintah untuk memenuhi ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan sepanjang kondisi pasar modal di Indonesia pada saat memungkinkan saham-saham dijual sesuai dengan permintaan pasar dengan harga yang wajar di Bursa Efek Jakarta, atau dengan cara lain kepada “Pihak Nasional Indonesia” sejumlah saham melalui penjualan tersebut, baik langsung maupun tidak langsung sebesar 2 1/2 persen dari Modal saham Perusahaan yang diterbitkan sampai pada satu saat dimana jumlah keseluruhan saham yang dijual sesuai Pasal 24 ayat 4 COW akan mencapai jumlah, langsung atau tidak langsung,setelah semua hasil penjualan terebut dan setiap saham yang sekarang atau selanjutnya dimiliki Pemerintah 45% dari Modal Saham Perusahaan yang diterbitkan;
dengan ketentuan bahwa sekurang-kurangnya 20% dari Modal saham yang diterbitkan tersebut harus dijual di Bursa Efek Jakarta, dan untuk selanjutnya bila 20% dari saham tersebut tidak di di Bursa Efek Jakarta, Perusahaan diharuskan menjual atau berusaha untuk menjual pada penawaran umum di Bursa Efek Jakarta, atau
dengan cara lain kepada Pihak Nasional Indonesia dengan saham-saham yang cukup untuk mencapai suatu jumlah yaitu 51% dari Modal Saham Persahaan yang diterbitkan, tidak lebih lambat dari Ulang Tahun ke- 20 tanggal ditandatanganinya Kontrak Karya ini, sampai mencapai yang dikehendaki oleh Pemerintah, sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan sepanjang kondisi pasar modal di Indonesia pada saat itu memungkinkan saham dijual “sesuai dengan permintaan pasar dengan harga yang wajar”.
“SELESAI SALIN”
CATATAN:
Kita lihat bahwa pada butir d Pasal 24 ayat 2 – COW, menentukan bahwa jika setelah penandatangan Persetujuan (Kontrak Karya/COW) ini Peraturan Perundangan-undangan yang berlaku atau kebijaksanaan – kebijaksanaan atau tindakan-tindakan Pemerintah memberlakukan ketentuan pengalihan saham yang lebih ringan dari ketentuan yang ditetapkan dalam Pasal ini, ketentuan pengalihan saham yang lebih ringan tersebut yang akan berlaku bagi pihak-pihak dalam Perjanjian Kontrak Karya ini.

Dengan uraian dasar ketentuan Kontrak Karya diatas, seharusnya jika Pemerintah hendak tidak memberikan Permohonan Perpanjangan dari Kontrak Karya, maka mengingat Ketentuan Peraturan Pemerintah no 1 Tahun 2017, menentukan Divestasi adalah 51%, maka kemungkinan langkah yang dapat digunakan oleh Pemerintah untuk tidak memperpanjang Permohonan PT Freeport untuk memperpanjang 2 x 10 Tahun setelah tahun 2021, adalah dengan “Alasan Harga Akuisi yang diajukan oleh Freeport McMoran (FCX) “tidak wajar” sesuai Pasal 24 b diatas.

 

 

Menurut Penulis alasan “tidak wajar” yang dapat dipakai sebagai alasan dasar hukum adalah :
Harga Saham dari PT Freeport adalah untuk Sisa Aset Cadangan Deposit didalam Wilayah Pertambangan Umum PT Freeport yang tinggal 3 – 4 Tahun dari Tahun Ditandatangani Perjanjian Divestasi, dimana Pertanyaan mendasarnya adalah :
Apakah Nilai Harga Saham yang ditawarkan FCX kepada PT Inalum adalah :
senilai dengan Sisa Cadangan Deposit yang dapat di Produksi PT Freeport hingga tahun 2021, dan Bukan Cadangan Hingga Tahun 2044 ( Periode Perpanjangan 2 x10 setelah 2021).
Namun kita amati bahwa : “Harga Hak Penjualan” Hak Produksi 40% atas Bagian Peningkatan diatas 115K (Ton Per Hari) dari PT Rio Tinto yang dijual kepada PT Inalum adalah Transaksi senilai USD 3,85 Milyar atau Rp. 56 Trillun, adalah :
Transaksi Penjualan Diluar Ketentuan Divestasi 51% yang harus dilaksanakan oleh FCX sesuai pasal 24 d Kontrak Karya”, sehingga tidak dapat dipergunakan Pemerintah Indonesia untuk tidak memperpanjang Permohonan PT Freeport Indonesia, karena memang PT Rio Tinto bukan Pihak yag mengadakan Perjanjian Kontrak Karya 30 Desember 1991 dengan Pemerintah.
Maka terlihat bahwa Pengalihan Hak atas 40% atas Bagian Peningkatan Produksi, secara Hukum Kontraktual “bukanlah” implementasi 51% Divestasi dari saham FCX yang dibeli oleh PT Inalum dari PT Rio Tinto, dengan Harga USD 3,85 Milyar atau Rp.56 Trilliun,
melainkan adalah Hak Partisipasi Interest 40% BAGIAN Peningkatan Produksi diatas 115 K dari PT Rio Tinto yang dibeli oleh PT Inalum, dimana nantinya pada tahun 2022, dapat di – Konversi / ditukar menjadi Saham atas Saham yang dikeluarkan oleh PT Freeport Indonesia, sesuai Perjanjian antara PT Rio Tinto dan PT Freeport Indonesia, sewaktu PT Rio Tinto setuju mendanai Capex dan Opex sebesar USD 400 juta untuk Peningkatan Produksi dari 115 Ton Per Hari menjadi Target 190 Ton Per Hari.
Selanjutnya PT Inalum, juga setuju mengeluarkan uang USD 350 Juta untuk Pembelian 100% Saham yang dipegang oleh FCX di PT Indocopper Investama yang memiliki 9,36% Saham di PT. Freeport Indonesia.
Diperkirakan, PT Inalum akan melakukan penyuntikan dana “Untuk Tambahan Saham” yang akan dikeluarkan oleh PT Freeport untuk menutupi kekurangan jumlah saham agar dapat mencapai “Mayoritas Divestasi 51%” sebagaimana diinginkan oleh Pemerintah Melalui 3 Menteri yaitu Menteri ESDM, Menteri Keuangan dan Menteri BUMN.
  • KESIMPULAN :
PT INALUM TAK MEMBELI SAHAM DARI FCX dalam Kerangka Kewajiban 51% Divestasi oleh FCX, sesuai Pasal 24 b dari Kontrak Karya 30 Desember 1991.
Dari uraian ringkas diatas, dapat kita simpulkan bahwa terindikasi PT Inalum, tidaklah membeli saham dari FCX, dalam rangka PELAKSANAAN DIVESTASI 51% OLEH FCX, sesuai Pasal 24 b dari COW, karena Harga Saham yang ditawarkan oleh FCX, dirasakan terlalu tinggi oleh Pemerintah dan tidak Wajar, melainkan merupakan :
Siasat atau Kiat Jitu” Pemerintah dan PT Inalum untuk TETAP dapat memperoleh Saham 51% dari seluruh saham yang dikeluarkan oleh PT Freeport, tanpa melalui Implementasi Kewajiban FCX untuk Divestasi 51% Sahamnya kepada Pemegang Saham Nasional, sesuai Pasal 24 B – COW, melainkan dengan cara lain yaitu :
(a) melakukan perundingan dengan PT Inalum untuk “Hak Partisipasi 40% Bagian Peningkatan Produksi diatas 115 K (Ton Per Hari) , yang dibeli oleh PT Inalum dari PT Rio Tinto, mengingat PT Rio Tinto, juga sedang berusaha melakukan Opsi untuk menjual Hak Partisipasi 40%, sebagai akibat PT Rio Tinto tidak mau terlibat dalam “ketidak Pastian” akibat Potensi Terjadinya “Dead Lock” dalam renegosiasi Kontrak Karya 31 Desember 1991, antara Pemerintah dan FCX, yang berlarut-larut, dimana FCX telah mengancam untuk mengajukan tuntutan ke Arbitrasi Internasional terhadap Pemerintah Indonesia, dimana terindikasi tercapai kesepakatan Harga Partisipasi 40% PT Rio dengan Harga USD 3, 85 Milyar atau Rp 56 Trilliun, dimana Pemebelian Hak Partisipasi Interest 40% dari Rio Tinto, pada tahun 2022, berhak di Konversi menjadi Saham yang dikeluarkan oleh PT Freeport, yang nilainya seharga Nilai Pencapaian Peningkatan Produksi diatas 115 K (Ton Per Hari); dan
(b) PT Inalum membeli 100% saham FCX di PT Indocopper Investama yang memiliki 9, 36% Saham yang dikeluarkan oleh PT Freeport Indonesia dengan harga USD 350 juta (Note : dimana Saham ini semula di Buy Back oleh FCX dari Group Bakrie) .
(c) membeli Saham Pemerintah yang memang telah dimiliki di PT Freeport sebesar sekitar 9 % – 10%, serta
(d) beberapa “saham baru” yang akan dikeluarkan dari Portepel atau saham yang belum dikeluarkan dari Modal Dasar PT Freeport Indonesia, guna dapat terpenuhinya 51% Saham dari seluruh Saham yang dikeluarkan oleh PT Freeport,
Sehingga Komposisi Perbandingan Saham antara PT Inalum dan FXC atas saham yang dikeluarkan oleh PT Freeport adalah :
PT Inalum :    51% 
     dan
FCX  :            49%.
Terlihat, bahwa dengan disepakatinya Head Of Agreement (HOA), maka dapat kta indikasikan bahwa :
Pemerintah  tidak menempuh jalur untuk mencari Alasan Yang Wajar untuk  menunda atau tidak memberikan persetujuan atas Permohonan PT Freeport untuk memperpanjang masa Hak Pengelolaan Penambangan Tembaga dan Emas sebagaimana diatur dalam Pasal 31 Kontrak Karya, meskipun FCX telah menawarkan Harga Divestasi yang tinggi dan tidak wajar,  melainkan Pemerintah  dengan Cara Lain berusaha mencari  :
Siasat dan Kiat Jitu  guna dapat  mencapai  TARGET kepemilikan Saham 51 %  atas saham yang dikeluarkan oleh PT Freeport, melalui :

 

  • Pembelian Hak Partisipasi 40 % atas Bagian Peningkatan Produksi diatas 115 K – Ton Per Hari (yang tentunya harus lebih murah dari Harga Divestasi 51% yang ditawarkan oleh FCX)

  • Pembelian 100% Saham FCX di PT Indocooper Investama yang memiliki 9,36 %  di  PT Freeport , 
  • ditambah saham Pemerintah yang telah ada antara 9 – 10%, 

dan

  • Tambahan Saham Baru dari Portepel ( atau saham yang belum dikeluarkan dari Modal Dasar PT Freeport Indonesia,

sebagaimana diuraikan secara ringkas diatas.

PERSOALAN YANG MASIH KRUSIAL dari Masyarakat dan Pengamat adalah :
Mengapa Harga dari Pembelian HAK PARTISIPASI 40% PT Rio Tinto atas Bagian Peningkatan Hasil Produksi diatas 115 Ton Perhari adalah USD 3,85 Milyar atau Sekitar Rp56 Trilliun, dan tidak memperpanjang Masa IUPK atau Kontrak Karya 30 Desember 1991 yang berakhir tahun 2021.
Untuk menganalisa hal ini,  maka Penulis akan mencoba menulis dalam tulisan lanjutan terkait liku-liku PT Inalum maupun Pemerintah terkait Kewajiban Divestasi 51% Saham di PT Freeport Indonesia, dimana sesuai nasehat kawan Penulis, Penulis akan mengecek :

Reserve Deposit Cadangan Tembaga dan Emas dari PT Freeport atau FCX yang termuat dalam : 

Laporan  Freeport McMoran (“FCX”)  di  SEC  (“Security And Exchange Commision”) untuk Fiscal Year Ended December 31, 2017

yang dapat kita telusuri  di Website, mengingat  Freeport MacMoran adalah      Perusahaan Go Public di USA, sehingga ada kewajiban dari Perusahaan Public untuk membuat Laporan untuk diajukan ke SEC.  

Agung Supomo Suleiman

6 Agustus 2018 di edit 8 Agustus 2018

Buat Blog di WordPress.com.

GLOBAL INDONESIA DAILY

MENANGKAP FENOMENA PERISTIWA DUNIA DAN INDONESIA

Mollyta Mochtar

Travel and Lifestyle Blogger Medan

The Signs

Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan?’ (adz-Dzariyat: 20)