- Penulis memberanikan diri untuk membuat RENCANA Worskhop Pemberdayaan Perusahaan Pertambangan /Perminyakan LOKAL untuk mencari Sumber Dana /Modal dalam bidang Perminyakan / Pertambangan karena Penulis sendiri telah pernah selama 5 (lima) Tahun dahulu bekerja sebagai In House Legal Counsel di PT Freeport Indonesia Company (Tahun 1993-1998) Perusahaan yang dimiliki Investor USA yang diberikan COW (Kontrak Karya Pertama) – dalam bidang Pertambangan di Indonesia tahun 1967, dimana Pemerintah Orde Baru pada saat itu mengeluarkan Undang Undang Baru yaitu :
- Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 Penanaman Modal Asing pada bulan Januari dan
- Undang – Undang No. 11 /1967 mengenai Ketentuan Dasar Pertambangan bulan Desember yang menggantikan ketentuan yang lama;
- Perlu diketahui bahwa pada tahun 1967, Indonesia secara ekonomi berada didalam “keadaan benar-benar sangat kesulitan secara Keuangan” atau mendekati “Kebangkrutan” dimana kemudian berdasarkan Mandat dari Rakyat pada saat itu dalam Sidang MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) 1996 telah dikeluarkan :
- Putusan MPRS No.XXIII/MPRS/1996, dimana diputuskan antara lain :
-
bahwa potensi kekayaan dari “Kekayaan ALAM Negara” “Perlu Di Exploitasi, di-Manfaatkan dan di Transformasikan menjadi “Kekayaan Ekonomi Yang Nyata”.
-
Bahwa Modal Asing, Teknologi dan Keahlian dapat digunakan untuk mengatasi penurunan Ekonomi dan dipergunakan untuk Pembangunan Indonesia;
-
dan bahwa Modal Domestik adalah “Terbatas” dimana Undang-Undang Penanaman Modal Asing perlu dikeluarkan dalam waktu yang segera.
- Berdasarkan “Suasana keadaan Kesulitan Ekonomi demikianlah pada saat itu, dimana Indonesia diujung kebangkrutan dan karena keterbatasan modal domestik telah mendesak MPRS membuat segera mengeluarkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing diperlukan untuk segera dikeluarkan.
-
- Pada tahun 1967, Penulis masih duduk dibangku SMP Sumbangsih, dimana suasana yang Penulis rasakan sebagai siswa smp adalah banyaknya antrian panjang rakyat untuk mendapatkan beras, susu, minyak tanah. Sebagaimana kita ketahui keadaan politik pada tahun 1950 hingga 1966 berada dimasa ketidak stabilan politik, pemberontakan bersenjata, kesulitan ekonomi. Keadaan yang demikian tentunya tidak menarik bagi Inverstor tambang untuk membangun atau mengembangkan potensi kekayaan alam yang terdapat di Indonesia.
-
-
Ketentuan Pertambangan Kolonial Pertambangan yaitu Indische Mijnwet (tahun 1899 yang dirubah terakhir tahun 1918) telah diadopsi oleh Negara Indonesia yang baru Merdeka dan muda dimana Undang-Undang Pertambangan Indonesia tahun 1960 dirasakan perlu direvisi karena terlalu ketat sehingga gagal untuk mendapatkan responsive positive dari Investor Lokal maupun Asing.
-
- Pada saat itu memang Pemerintah dibawah Bung Karno benar-benar masih berada dan diliputi suasana baru Merdeka dari Pendudukan Belanda maupun Jepang, sehingga eforia atau trauma untuk tidak senang dengan kehadiran atau campur tangan asing setelah hampir 350 Tahun Indonesia berada dalam penguasaan VOC (Perusahaan Belanda yang pada akhirnya bangkrut karena juga korupsi) yang kemudian diganti oleh Kerajaan Belanda melelui Gubernur Generalnya di Indonesia, dan sempat 3 Tahun diduduki oleh Jepang.
- Penulis ingat dalam benak ingatan bahwa temanya Pemerintahan yang dipimpin oleh Bung Karno pada saat saat itu tema-tema masih bertema Revolusioner seperti Tahun Vivere vere Coloso (atau Tahun Menyerempet Bahaya (TAVIP), Berdiri diatas Kaki Sendiri, menyelengarakan Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung, bahkan Indonesia pernah keluar dari Olimpiade dan membentuk Ganefo (Games of the New Emerging Forces).
Kabinet beberapa kali dirombak, dan ada suatu saat Bung Karno bahkan diangkat menjadi Presiden Seumur Hidup. Maka kita dapat mengerti bagaimana nuansa pada saat itu, yang pada ujung-ujungnya, terjadi perseturuan perebutan kekuasaan antara pilar-pilar kekuatan baik domestik maupun luar, yang berefek terhadap keterpurukan ekonomi Indonesia, dan menyebabkan terjadinya pergolakan pada tahun 1966 dimana puncaknya terjadi Gerakan 30 September maupun isu Dewan Jenderal, dimana Penulis ingat masih siswa SMP, dimana kita turut serta demonstrasi siswa dan mahasiswa, bersama juga dengan Baret Merah pada saat itu yaitu RPKAD di Monas.
- Begitulah suasana yang meliputi lahirnya Undang – Undang Penanaman Modal Asing Tahun 1967, dimana pada saat itu dibawah kepemimpinan Jenderal Soeharto Pemerintah Order Baru meletakan Rehabilitasi Ekonomi sebagai Prioritas utama bagi Negara saat itu mengatasi keterpurukan ekonomi negara.
Penulis merasa perlu mengedepankan latar belakang diatas, karena masyarakat maupun politisi Indonesia seringkali lupa dan “Pendek ingatannya” seolah- olah Produk Undang-Undang Penaman Modal Asing Maupun Produk Kontrak Karya yang mengundang Investor Asing melakukan kegiatan penanaman modal dalam Pertambangan adalah “lepas dari Suasana dan Keadaan yang meliputi Nuansa lahirnya suatu Undang-undang maupun Kontrak Karya (COW) dalam bidang Pertambangan atau Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Alam yang dikandung Bumi di Indonesia yang dimaksudkan untuk dikelola untuk manfaat dan kesejahteraan bersama dari Rakyat Indonesia.
- Penulis adalah Independend Business Lawyer , dimana Penulis tidak ingin terlibat terjebak dalam kepentingan Politik sesaat, melainkan sesuai Professi Mulia Advokat dan Penasehat Konsultan Hukum, Penulis berusaha untuk ” Professional dan Independ” melihat dan mengamati serta berusaha mencari jalan keluar se-obyektif mungkin didalam menganalisa dan mencari dasar hukum untuk memecahkan masalah hiruk pikuk dan kebuntuan cara berpikir didalam Pengelolaan Penambangan di Indonesia.
Didalam Kontrak Karya (COW) dalam Pertambangan Umum, biasanya terdapat “Klausula Divestasi” yaitu bahwa untuk jangka waktu tertentu biasanya setelah 10-15 Tahun semenjak Penandatangan Perjanjian Kontrak Karya tersebut, Para Pihak dalam hal ini Pemerintah Indonesia dan Pemodal Asing atau Fx Freeport Mc. Moran sepakat untuk adanya Divestasi atau perubahan kepemilikan Saham dari PT Freeport Indonesia dari 51% milik Penanam Modal Asing menjadi 51 % Lokal/Nasional dan 49% Pemegang Saham Asing di PT Freeport Indonesia ini.
- Namun sebagaimana kita ketahui secara Umum dalam perjalanan ketentuan Pembatasan Kepemilikan Modal Asing di Indonesia, dalam proses perjalanannya telah terbit Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1994, dimana karena adanya desakan Era Globalisasi Perdagangan Bebas, maka Divestasi Pemodal Asing dapat bertahan menjadi 95% Pemodal Asing dan 5 % Pemodal Lokal /Nasional.
Nah, tentunya Investor Asing dibidang Pertambangan Umum juga menghendaki dapat mengambil manfaat serta menikmati perubahan Kebijakan batas Divestasi yang “sangat lebih longgar” pembatasannya sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1994 terkait Divestasi Kepemilikan Pemegang Saham Asing kepada pemilik modal Lokal/Nasional dari suatu PT yang mendatangani Perjanjian Kontrak Karya dalam Pertambangan Umum.
Penulis yang saat itu bekerja sebagai Inhouse Legal Counsel di PT Freeport Indonesia juga diminta untuk berusaha menanyakan kepada pihak yang berwenang untuk dapat menikmati manfaat PP No. 20 tahun 1994 pada Kontrak Karya terkait dengan Divestasi tersebut, dengan pengertian bahwa Klausula yang Divestasi dalam Kontrak Karya disepakati setelah 10 atau 15 Tahun berubah kepemilikan Pemegang Asing semula 51% menjadi 49%, dan bagi Pemegang Saham Nasional atau Lokal menjadi 51%, dapat menikmati perubahan kelonggaran batas Divestasi yang diatur dalam PP No. 20 tahun 1994.
Butir 2 Yang Sangat Penting dari Peraturan Pemerintah No.20/1994 ini adalah :
- (a) tidak dimintakan Minimum Modal untuk Project Penaman Modal Asing;
- (b) Penanam Modal dapat berbentuk Penanaman Langsung (misalnya Investasi oleh Perusahaan Asing yang dimiliki keseluruhan oleh Penanam Modal Asing) atau Joint Venture;
- (c) Permintaan untuk saham Minimum Pemegang Saham Indonesia dalam Joint Venture /Patungan hanyalah 5% (Lima persen);
- (d) tidak ada permintaan Minimum Divestasi untuk perusahaan yang dimiliki seluruhnya oleh Penamam Modal Asing.
Ketentuan dari Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1994 ini kalau mau diterapkan atau dinikmati oleh COW yang sudah ditandatangani “secara Hukum tentunya timbul Pertanyaan “Tingkat Hirarkhi Kedudukan mana yang lebih tinggi antara PP No. 20/1994 dengan Kontrak Karya yang merupakan Perjanjian Kontrak Karya antara Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Menteri Pertambangan yang telah diproses pendatanganmnnya lewat Konsultasi (atau Persetujuan) MPRS / DPR, apalagi pada saat itu dimengerti bahwa COW/Kontrak Karya diperlakukan “Lex Spesialis”, dimana sekali disetujui ketentuan dari COW yang telah disetujui kedua belah pihak, Kontrak Karya akan berlaku sebagai “Ketentuan Khusus” yang “mengenyampingkan” ketentuan Umum istilah terkenalnya dalam Hukum adalah “Lex Spesialis derogat Lex Generalis”.
- Pada saat permulaan dari Generasi Pertama (tahun 1967-1970), sebahagian besar ketentuan dari Kontrak Karya adalah dinegosiasi, disebabkan Perusahaan Asing untuk beroperasi sebagai Kontraktor tidak secara khusus diatur dalam Ketentuan Undang-Undang. Namun pada perjalanannya Generasi Kontrak Karya terkait dengan teknis, hukum, dan masalah umum adalah diatur secara standard, namun tidak demikian dengan masalah Pajak dan masalah keuangan laimnya.
Setiap kali semenjak Pendatangan Kontrak Karya Generasi Pertama tahun 1967, perubahan ketentuan Undang -undang dan peraturan terkait dengan Pajak dan Masalah keuangan lainnya telah menyebabkan Pemerintah menyesuaikan Klausula Terkait dalam Kontrak Karya (Contract Of Work). Hal ini menyebabkan adanya formulasi Generasi Baru Kontrak Karya, dimana setiap Generasi mengatur Ketentuan Pajak dan masalah keuangan yang berbeda.
Ketentuan dan aturan dari berbagai COW atau Kontrak Karya juga merefleksikan adanya perubahan “Insentif” yang diberikan Pemerintah kepada Investor, untuk membuatnya Kompetetive dengan negara tetangga.
- Demikianlah salah satu Issue Hukum yang menarik bagi Penulis terkait dengan Payung Hukum, yang sebenarnya merupakan hasil Produk Politik antara Eksekutif dan MPR/DPR pada suatu masa periode 5 Tahunan sekarang ini, dimana oleh karenanya perlu di telusuri apakah Payung Hukum kita pada saat ini baik di Level Undang-undang Pertambangan Umum, Keuangan/Perbankan/Pasar Modal /Ootoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mendukung Perusahaan Lokal Perminyakan / Pertambangan untuk dapat melakukan kegiatan Penambangan. Hal ini adalah penting, karena kendala yang biasanya dihadapi Perusahaan Lokal didalam melakukan kegiatan Pertambangan/Minyak adalah “keterbatasan” sumber atau pengadaan Modal/Dana.
Untuk hal ini Penulis melalui (Suleiman Agung & Co (“SACO Law Firm”) mempunyai ilusi membuat Worskhop Pemberdayaan Perusahaan Pertambangan /Perminyakan LOKAL termasuk Menelusuri Payung Hukum Pemberdayaan Modal/Dana dalam tahapan Explorasi dai Kegaiatan Peertambangan Umum guna Membahas – Pemberdayaan Perusahaan Lokal secara Permodalan /Dana, baik melalui jalur Payung Hukum Ketentuan Pertambangan /Perbankan maupun Penaman Modal serta Pasar Modal, dimana kita dapat meniru Bursa Saham di Australia maupun Canada untuk dapat memperoleh Dana Publik dari bursa Saham bagi Penambang Minyak /Pertambangan Umum dalam Tahapan Explorasi tentunya dengan Catatan bahwa Tahapan Eskplorasi Pertambangan telah mencapai suatu tahapan mendapatkan gambaran Studi Geologis Cadangan Reservoir Tambang yang “Dapat dipertanggungan Jawabkan”, mengingat Dana Publik dari Bursa Saham yang hendak digalang oleh Investor Tambang/Minyak adalah masih untuk melakukan Kegiatan Explorasi guna dapat dilanjutkan ke Tahapan Pengembangan/Exploitasi…… .
- Jakarta , 2 Februari 2014 direvisi 6 Februari 2014 – 21 Juni 2014
- Agung Supomo Suleiman