Penulis sebenarnya sangat salut dengan kegigihan dan ketangguhan dari Pemerintah saat ini dalam memperjuangkan agar FCX melaksanakan Kewajiban Divestasi 51% kepada Pemegang Nasional dalam perundingan yang telah berlangsung alot selama 3, 5 tahun ini yang diinstruksikan oleh Presiden untuk dilaksanakan oleh 3 Kementerian yaitu ESDM, KEUANGAN dan BUMN serta dibantu Kementerian Lingkungan hidup terkait untuk menanggulangi dampak lingkungan akibat dari Kegiatan Penambangan yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia, dimana guna mendapatkan harga yang wajar Pemerintah telah berusaha menggunakan strategi kombinasi antara Pembelian Saham paralel dengan pembelian Hak Partisipasi dari Rio Tinto, mengingat Freeport Mac Moran (FCX) tetap bersikukuh untuk memasang Nilai Aset Akusisi Saham dengan perhitungan Kekayaan Aset Cadangan Tembaga dan Emas hingga tahun 2041 (hingga perpanjangan 2 x 10 = 20 tahun + tahun 2021 = 2041), sedangkan Pemerintah menilai Kekayaan Aset Cadangan Tembaga dari PT Freeport adalah hingga tahun 2021, sebagai akhir periode dari Perjanjian Kontrak Karya PT Freeport, yang digantikan dengan IUPK sesuai ketentuan Undang-Undang Minerba yang berlaku.
Selanjutnya PT Rio Tinto yang mempunyai Hak Partisipasi 40 % atas Produksi Hasil Tambang Tembaga dan Emas, hendak juga menyelamatkan Investasi Dananya jika terjadi Dead Lock perundingan antara Pemerintah dan FCX terkait issue Implementasi Divestasi 51%.
Namun dari banyak pengamat terindikasi mereka bingung kenapa Pemerintah menerima Harga Akuisi Saham melalui Hak Partisipasi 40 % Hasil Produksi Tembaga dan Emas dari Rio Tinto dengan Nilai USD 3,8 Milyar yang diumumkan Menteri BUMN dalam Konferensi Pers tanggal 12 Juli 2018, melalui ditandatanganinya Head Of Agreement antara PT Inalum dan Freeport Mc Moran (FCX), PT Freeport Indonesia, PT Rio Tinto dirasakan sangat terlampau tinggi untuk Nilai Aset berupa sisa Produksi maupun Cadangan Kandungan Deposit Tembaga dan Emas hingga tahun 2021. Menurut Menteri BUMN para pihak akan menyelesaikan Perjanjian Jual Beli sebelum akhir Tahun 2018.
Sebagaimana kita ketahui hal yang sangat krusial terjadi adalah bahwa terdapat Perbedaan Menyolok atas Perhitungan Nilai Saham serta Nilai Hak Partisipasi Rio Tinto yang nantinya akan dikonversi atau dirubah menjadi Hak Kepemilikan Saham antara Pemerintah dan Investor FCX maupun Rio Tinto dimana :
Pemerintah mengkalkulasi Nilai Aset berupa Cadangan Tembaga dan Emas baik yang di Stock Pile maupun di bawah Bumi Deep Zone hingga Tahun 2021, sedangkan Investor Freeport McMoran (FCX) maupun Rio Tinto menilai Aset Cadangan hingga Tahun 2041 ( hingga perpanjangan 2 x 10 = 20 tahun + tahun 2021 = 2041).
Hal ini tentunya menjadi kendala sehingga kemungkinan terjadinya Dead Lock atas perundingan Nilai Divestasi antara Freeport McMoran (FCX) dan Pemerintah. Itulah mengapa Pemerintah berusaha untuk secara paralel berusaha membeli Hak Partsipasi dari Rio Tinto atas Hak Hasil Produksi Tembaga dan Emas, mengingat Rio Tinto juga tidak ingin rugi Investasinya membantu Fcx Mc Moran dalam pendanaan jika terjadi Dead Lock berlarut-larut antara FCX Mac Moran dan Pemerintah Indonesia dimana sempat dilakukan ancaman bahwa FCX akan mengajukan gugatan ke Arbitrasi Internasional sesuai hak yang diberikan dalam Kontrak Karya.
Terkesan sekali bahwa dalam Masa Politik Pemilu Capres /Wapres dalam Pilpres tahun 2018 – 2019, bahwa Pemerintah seolah-olah dikejar Target untuk konsumsi Pilpres kepada Masyarakat Publik bahwa Pemerintah berhasil menekan FCX untuk melaksanakan kewajiban Divestasi 51% pada akhir bulan Juli ini sebelum Bulan Agustus 2018 yang merupakan batas waktu Partai Politik mencalonkan Capres dan Wapres, dimana Pemerintahan yang terdahulu memang terkesan memperjuangkan Divestasi setengah hati hanya sampai 30% semasa Kegaduhan yang terjadi tahun 2015 antara Pemerintahan sebelumnya – Menteri ESDM dan DPR dimana anggota DPR pun bertanya kepada Presdir PT Freeport mengenai berapa Nilai Kewajiban divestasi Saham di PT Freeport yang dijawab oleh Presiden PT Freeport saat itu di Sidang Dewan Kehormatan DPR 30 %, dimana seharusnya anggota DPR harus melakukan checking dengan meminta Copy Kontrak Karya dan mempelajari isi ketentuan Pasal Divestasi yang seharusnya 51 % secara bertahap dengan batas waktu paling lambat Ulang Tahun ke 20 semenjak Ditandatanganinya Perjanjian Kontrak Karya atas Pembaharuan Perjanjian Kontrak Karya tertanggal 30 Desember 1991 sesuai Pasal 24 b dari Kontrak Karya (30 Desember 1991 +20 tahun = 30 Desember 2011)
- Perkembangan Tarik Menarik Divestasi dari Host = dengan Desakan Global terkait Investasi di Negara Host – Pengusahaan Pertambangan Umum.
Pada tahun 1994 Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1994, secara umum mengeluarkan ketentuan bahwa perusahaan asing dapat memiliki saham 100% dan kewajiban Divestasi hanya diwajibkan hingga 5%, hal mana adalah merupakan desakan dari Globalisasi Investor Dunia, dimana ditekankan tidak boleh adanya diskriminasi atas penanaman modal asing di setiap negara atau tidak boleh dibatasi percentage Penanam Modal Asing.
Namun kita ketahui Kontrak Karya di tandatangani oleh Pemerintah diwakili Menteri Pertambangan dan Migas (kini ESDM), dimana sebelum ditandatangani harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan DPR, sebagai wakil rakyat sehingga Kontrak Karya mempunyai kekuatan Hukum Setingkat Undang Undang.
Hal ini yang sering ditekankan oleh Perusahaan Pertambangan Umum termasuk PT Freeport Indonesia, jika ada ketentuan terkait Perpajakan atau Beban Royalty yang diatur dalam Kontrak Karya atau dengan penekanan istilah “Lex Spesialis Derogat Les Generalis” dengan pengertian jika ada Ketentuan Perpajakan dalam Undang Undang baru yang memberatkan pihak Investor Tambang maka yang berlaku adalah tetap Perpajakan yang tercantum dalam Kontrak Karya.
Dengan demikian, seharusnya dengan berpegang pada prinsip diatas PT FI seharusya tidak dapat mengambil manfaat dari PP No. 20 Tahun 1994 tersebut untuk mendapatkan manfaat kelonggaran Kewajiban Divestasi 51% dalam Kontrak Karya.
Dalam perkembangan Undang- Undang Minerba Tahun 2009, kita melihat adanya kewajiban Divestasi dalam Perusahaan Pertambangan Umum, namun jika teliti lebih dalam di Undang-Undang Minerba tahun 2009 tersebut “tidak diatur” mengenai :
(a) berapa besar Kewajiban Divestasi serta
(b) Tahun ke berapa dari Kontrak Karya harus terjadi Divestasi dari Investor Pemegang Saham Asing ke Pemegang Saham Nasional,
dalam Undang-undang Minerba ini melainkan diserahkan kepada Pemerintah untuk mengaturnya.
Terkait dengan hal ini pada masa Tahun 2015 an, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No…Tahun _____yang menentukan Divestasi 51%, namun kemudian pada tahun ____dirubah menjadi 30 % jika dilakukan untuk Deep Zone.
Pemerintah pada tahun 2017 melalui Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 2017 mewajibkan kembali adanya Kewajiban DIvestasi menjadi 51% untuk IUPK
Berdasarkan dari uraian tarik menarik diatas terkait dengan Percentage Kewajiban Divestasi, kita amati bahwa Undang – undang adalah “produk Politik” yaitu antara kekuatan Pemerintah dan DPR, maupun juga tekanan dari Dunia Internasional yang kuat dalam permodalan serta Pengalaman dalam Pengelolaan Pertambangan Bahan Galian khususnya di Pemerintah Negara Amerika Serikat, Australia, Inggris yang memamg secara sejarahnya banyak Investor Pioner mereka telah melakukan kegiatan Penambangan Baik di Amerika Serikat, Australia, maupun di Negara- Afrika yang kaya dengan Bahan Tambang dan Mineral.
Kekuatan desakan diatas, dalam praktek pembuatan Kebijakan dan Perundangan-undangan Pertambangan Umum akan mempengaruhi “Pendulum Tarik Menarik” antara Negara “Tuan Rumah Host” dan “Investor Asing”, sehingga terefleksi dari “berubah-rubah” nya ketentuan Divestasi 51% Mayoritas Pemegang Saham Nasional yang harus ditawarkan oleh Pemegang Saham Asing terkait dengan Pengeloalaan Pertambangan Umum di Wilayah Hukum Pertambangan Umum Mineral dan Batu Bara di Indonesia, sesuai dengan ketentuan Pasal Divestasi dalam Perjanjian Kontrak Karya, dalam Ketentuan Kebijakan dan Peraturan Pemerintah maupun Undang-undang.
Dengan demikian jelas peta kekuatan negosiasi maupun penyusunan ‘Perangkat Peruadangan undangan” dalam mengatur Pengelolaan Pertambangan Umum, Mineral dan Batu Bara di Indonesia tidak dapat lepas dari tekanan Investor Global melalui perangkat Wadah dan Badan Internasional termasuk yang mengatur Penanaman Modal Asing dalam Pertambangan Umum di Negara Tuan Rumah (“HOST”) yang mengandung Deposit Cadangan Kekayaan Sumber Alam seperti Tembaga dan Emas, yang dimulai dari Bantuan Dana untuk Merubah Ketentuan Peraturan Perundang- undangan, dari Negara Sponsor dimana banyak titipan dari Para Inverstor negara Penyumbang Banutan Dana Perubahan Peraturan Perundang-undangan tersebut.
Berpijak dari nuansa yang mengitari pembauatan Kebijakan dan Ketentuan di Bidang Pengellaan Pertabamngan Umum Mineral dan Batubara tersebut, kita dapat amati bahwa apapun “Hasil Desakan” dari Investor Asing melalui Wadah Internasional baik Penamanan Modal, Perdagangan melalui WTO, IMF, World Bank maupun Konvensi Internasional serta Traktat Antara Negara, semuanya juga tergantung dari Perubahan Peta Kekuatan Global Khususnya Keuangan Dunia maupun Investasi dan Perdagangan serta Kekuatan Militer mereka masing-masing.
Kita dapat melihat saat ini Negara Besar seperti USA dibawah Trump juga kembali mengambil kebijakan “Melindungi dan menutup diri” dari Desakan Global, sehingga kita dapat lihat terjadinya Perang Dagang yang saat ini terjadi antara USA dan China.
Kembali ke nuansa di Indonesia saat ini, kita amati bahwa terkait Policy Kebijakan dari Pemerintah dan DPR, kita dapat menyaksikan secara Internal Negara, menjelang Pilkada termasuk PILPRES 2019, terlihat masalah Divestasi kewajiban PT Freeport Indonesia ini, dijadikan Komoditi Politik dari Para Pihak yang berkepentingan untuk melanjutkan kekuasaan Pemerintahannya maupun Kursi di DPR dan MPR.
Apapun latar belakangnya nuansa yang mengitari Pembuatan Undang-Undang maupun Peraturan Pelaksana serta Kebijakan Policy Penguasa baik di Eksekutif maupun DPR, Penulis sebagai Penulis yang berusaha untuk mengamati “Perkembangan Penaman Modal Asing maupun Pemberdayaan Pemodal Dalam Negeri” dalam Pertambangan Umum termasuk Tembaga dan Emas maupun Migas, secara Independent dan berusahaa untuk “Menjaga Jarak” dengan Pembuat Kebijakan maupun Produk Undang-undang dan Peraturan Pelaksana.
Dengan dasar pengamatan diatas, maka Penulis mengamati adanya Keteguhan dan Kegigihan Pemerintah saat ini tahun 2016 hingga 2018 didalam memperjuangkan pelaksanaan kewajiban Divestasi oleh FCX hingga sebesar 51%.
Namun, kita perlu mengamati dan mempelajari lebih lanjut Perkembangan Perundingan Pembelian Hak Partisipasi Produksi Rio Tinto ini,yang dilakukan oleh Para Stack Holder :
apakah Hak Mendapatkan Hasil Produksi Tembaga dan Emas sebesar 40% ini hanya sebatas dari Volume kenaikan Produksi Hasil Tambang Tembaga dan Emas “diatas 115 K (atau diatas 115 Ton Per hari )”, sebagai Batas Produksi Ton Per Hari yang telah dapat diproduksi PT Freeport tanpa bantuan Dana dari Rio Tinto.
Penulis mengamati bahwa terdapat masukan dari seorang Nara Sumber di Medsos dari Ex Pegawai PT FI yang pernah bekerja sebagai Controler, yang menjelaskan Freeport mempunyai Target untuk menaikan produksi dari 115 K menjadi 190 K (atau 190 Ton Per Hari), dimana Produksi hingga 115 K adalah tetap 100% untuk PT Freeport, sedangkan untuk Produksi diatas 115 K Hingga 190 K dalam Joint Venture atau Participation Agreement antara PT Freeport dan PT Rio Tinto dijanjikan untuk dibagi Hasil Produksi menjadi PT Freeport 60 % : dan PT Rio Tinto 40 %.
Menurut masukan nara sumber diatas, guna menaikan Produksi 115 K menjadi 190 K, pada periode 20 tahun yang lalu, dibutuhkan dana USD 400 juta plus bunga Libor, sehingga menjadi USD 600 juta.
Untuk biaya pengadaan Asset, Rio Tinto setuju untuk menalangi terlebih dahulu kewajiban Freeport, yang akan diterapkan sebagai Dana Pinjaman dengan Suku Bunga yang sama dengan LIBOR (London Interbank Offered Rate).
Pinjaman ini akan dibayar kembali oleh PT Freeport kepada PT Rio Tinto melalui pemasukan hasil produksi di atas 115K TPD, dalam bentuk 40 % Produksi yang diberikan kepada PT Rio Tinto.
Transaksi Joint Venture (JV) ini dilakukan melalui monthly cash call, berdasarkan produksi aktual bulanan dan forecast cash out 3 bulan ke depan untuk capital cost ( CAPEX) dan OPEX (operational cost).
Kini Hak atas Hasil Produksi diatas 115 Ton Per Hari dijual ke Inalum, dengan harga Pemberlian sebesar USD 3,85 milyar.
Catatan : Karena targetnya 190 K atau 190 Ton per hari, maka 190 – 115 = 75 Ton per hari, berarti 40 % dari (75 Ton per Hari) dikalikan Sisa Hari terhitung Tgl ditandatangani Perjanjian Final Jual beli Saham dari Konversi Nilai 40% Hasil Produksi 75 Ton Per Hari hingga tgl berakhirnya Kontrak Karya 30 Desember 2021, kurang lebih 3 tahun atau 3 x 365 Hari dikalikan harga rata-rata Harga Tembaga dan Emas per gram dipasaran Index yg digunakan di Bursa Nilai Index Tembaga dan Emas pada masa sisa 3 tahun tersebut dikali 7 Ton Tembaga dan Emas.
Catatan : berapakah Persentage Saham dari 40 % dari Nilai Harga Hasil Produksi 75 Ton Per Hari dari 3 tahun yg disebut Pemerintah senilai USD 3,85 milliar atau Rp 56 Triliun… ?
Kita ketahui terdapat perbedaan antara Percentage Saham dengan Percentage Hasil Produksi Tembaga dan Emas, .atau Saham Versus Hak Partisipasi atau disebut Participating Interest disingkat PI.
Maka kita lihat bahwa 40% Hak Partisipasi dari Rio Tinto yang dibeli oleh PT Inalum bukan dari Total Produksi Ton Per Hari yaitu Target 190 K melainkan 40% dari 190 K dikurangi 115 K = 75 K
Namun, sayangnya Nilai Divestasinya melalui Akusisi Saham maupun Pembelian Hak Partipasi dari Rio Tinto sebesar 40 % yang kemudian nantinya tahun 2021 / 2022, jika diperpanjang Kontrak Karya PT Freeport akan dapat ditukar dengan Saham yang dikeluarkan PT Freeport Indonesia, ( Catatan kita perlu cek kepastian akan ketentuan ini), sesuai dengan isi ketentuan dari Perjanjian Partisipasi antara PT Freeport dengan PT Rio Tinto, dirasakan sangat Tinggi Nilainya yaitu USD3,85 Milyar, sebagaimana diumumkan oleh Menteri BUMN melalui Konferensi Pers tanggal 12 Juli 2018 atau lebih kurang Rp. 56 Trilliun.
Kita sebelumnya mengetahui bahwa antara Pemerintah dan Investor FCX maupun Rio Tinto terdapat perbedaan mendasar terkait Nilai Akuisisi dari Saham yang mempresentasikan Nilai Aset Cadangan Deposit Kekayaan Tembaga dan Emas,dimana Investor FCX maupun Rio Tinto terindikasi menghitung Nilai Aset Cadangan hingga tahun 2041 ( hingga perpanjangan 2 x 10 = 20 tahun + tahun 2021 = 2041) namun Pemerintah dilain pihak menghitung Nilai Aset Cadangan Tembaga dan Emas dari PT Freeport adalah hingga tahun 2021 sebagai tahun berakhirnya Masa Kontrak Karya, dimana memang Freeport McMoran (FCX) berhak untuk memperpanjang masa Kontrak 2 x 10 tahun, dan Pemerintah tidak dapat menolak permintaan perpanjangan dengan alasan yang tidak wajar.
Kita ketahui bahwa yang berlaku saat ini dan harus diakui oleh FCX maupun Rio Tinto bahwa Dasar Hukum yang berlaku untuk menambang adalah IUPK dan Bukan Kontrak Karya lagi, dimana nantinya aturan ketentuan yang berlaku menurut Menteri ESDM dalam suatu wawancara dengan TV Detik adalah lampiran dari IUPK yang akan diberikan oleh Pemerintah kepada PT Freeport Indonesia.
Menteri ESDM menyatakan bahwa Divestasi bukanlah Nasionalisasi Penanaman Modal Asing melainkan amanat dari isi Perjanjian Kontrak Karya PT Freeport dimana memang ada kewajiban FCX McMoran secara bertahap melakukan Divestasi 51% dengan batas waktu paling lambat Ulang Tahun ke 20 semenjak Ditandatanganinya Perjanjian Kontrak Karya atas Pembaharuan Perjanjian Kontrak Karya tertanggal 30 Desember 1991 sesuai Pasal 24 b dari Kontrak Karya (30 Desember 1991 +20 tahun = 30 Desember 2011 sesuai dengan yang ditentukan dalam Perjanjian Kontrak Karya.
Disebabkan memang terdapat Klausula Opsi Perpanjangan Kontrak 2 x 10 baik di Kontrak Karya maupun IPUK maka Pemerintah akan mengakomodasi opsi keinginan FXC untuk memperpanjang Kontrak Karya yang berakhir 2021, namun tentunya FXC harus setuju untuk melaksanakan Divestasi 51% pada akhir 2021.
Menteri ESDM menekankan bahwa yang akan dicari jalan keluar atas Negosiasi dengan FCX adalah Win-Win.
Menurut Penulis pandangan Menteri ESDM adalah wajar, namun Penulis hanya turut mempertanyakan apakah Nilai USD 3.85 Miliar atau Rp 56 Trilliun adalah Harga Wajar atas Nilai Aset Cadangan Deposit Tambang dan Emas hingga Tahun 2012 ataukah dinilai dari Nilai Cadangan Deposit hingga tahun 1941 sebagaimana ditekankan oleh FCX maupun Rio Tinto.
Hal ini Penulis pertanyakan mengingat bahwa sebenarnya Masa Perjanjian Kontrak Karya akan berakhir tahun 2021 yaitu 3 tahun dari tahun 2018 ini, dimana jika Harga Akuisisi maupun Hak Partisipasi dari Rio Tinto atas 40 % terlalu tinggi dan tidak wajar untuk menilai Cadangan Produksi Tambang Tembaga dan Emas hingga tahun 2021 sebagai Batas Periode yang berhak diperoleh oleh FCX maupun Rio Tinto, maka Pemerintah dapat mempunyai alasan untuk tidak memperpanjang hak Opsi dari FCX untuk memperpanjang Masa Periode Kontrak Karya.
Selanjutnya mengingat bahwa Nilai USD 3,85 Milyar atau Rp 56 Trilliun adalah Harga Yang Signifikan Besar, tentunya Konsultasi dengan DPR sebagai Wakil Rakyat perlu juga dilakukan mengingat Beban USD 3,85 Milyar atau Rp 56 Trilliun nantinya akan diperoleh oleh PT Inalum dari Pinjaman Bank yang harus dikembalikan, dimana kepemilikan dari PT Inalum sebagai Holding dari beberapa BUMN yaitu dari PT Timah, PT Aneka Tambang, PT Bukit Asam, dan PT Indonesia Asahan Inalum (Inalum).akan mempengaruhi kinerja dari anak Perusahaan BUMN dimana PT Inalum telah mengambil alih saham yang dimiliki Pemerintah di ke 3 Anak Perusahaan BUMN tersebut..Untuk dapat menjawab pertanyaan Apakah Harga Divestasi – melalui awal Pembelian Harga Akuisi Saham melalui Hak Partisipasi 40% atas Hasil Produksi dari Rio Tinto dengan Nilai USD 3,8 Milyar yang diumumkan Menteri BUMN dalam Konferensi Pers tanggal 12 Juli 2018, kita harus mendapatkan analisa dari Para Ahli Penghitung Appraisal Nilai Cadangan Deposit Potensi Cadangan Tembaga dan Emas di Wilayah Pertambangan PT Freeport yang ada dan dapat diexploitasi dan di Produksi hingga tahun 2021.
Jakarta, 15 Juli 2018 Direvisi , di – Edit 25 Juli 2018, di re – edit 2 Agustus 2018
Agung Supomo Suleiman
Penulis
Ex Pegawai In House Lawyer 5 tahun di PT Freeport serta 5 Tahun Pegawai In House Lawyer Perusahaan Minyak dan Gas VICO – Huffco Indonesia