Snapshot Geo Politik – Artikel Hukum Bisnis OilGasMine – Energi- AGUNGSS

28 Desember 2015

Kesan Kuat UU Minerba setengah hati Atur Kewajiban Tingkatkan Nilai Tambah Konsentrat Ore

Setelah Penulis telusuri UU Minerba ternyata kata-kata larangan export atas Konsentrat Ore “tidak kita temukan” dalam UU Minerba No. 4 Tahun 2009
Yang diatur dalam UU Minerba adalah :
Pasal 102 yang mengatur :
 Pemegang IUP dan IUPK “wajib” meningkatkan Nilai Tambah Sumber Daya Mineral dan /atau Batubara dalam pelaksanaan Penambangan, Pengolahan dan Pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara
Pasal 103 :
(1) Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi “wajib” melakukan Pengolahan dan Pemurnian Hasil Penambangan Dalam Negeri
(2) Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat mengolah dan memurnikan hasil penambangan dari Pemegang IUP dan IUPK lainnya
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan Nilai Tambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 serta Pengolahan dan Pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

  • Berdasarkan ketentuan UU Minerba tersebut diatas, maka disebabkan Negara kita adalah berlandaskan Hukum, penafsiran atas 2(dua) Pasal  diatas tidaklah boleh melampui apa yang diatur dalam UU Minerba tersebut.

Yang menjadi perhatian kita bersama adalah  banyak pejabat maupun tokoh yang menyatakan bahwa berdasarkan UU Minerba, perusahaan Pertambangan Umum dilarang melakukan ekspor Konsentrate Ore, padahal setelah kita telusuri dalam UU Minerba tidak ada satu katapun yang menyatakan pelarangan ekspor Konsentrat Ore tersebut dalam UU Minerba.

  • Yang menjadi pertanyaan kita bersama adalah mengapa UU Minerba,  hanya mengatur mengenai
    (i) kewajiban meningkatkan Nilai Tambah bagi Pemegang IUP dan IUPK yang melakukan pelaksanaan Penambangan, Pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara, serta
  • (ii)Kewajiban melakukan pengolahan dan pemurnian Hasil Penambangan Dalam Negeri bagi Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi,

dan tidak memasukan “kata-kata ketentuan” dalam UU Minerba yang “melarang” Pemegang IUP dan IUPK melakukan Ekspor Bahan Mentah Konsentrat  Ore yang ditambang dari Wilayah Pertambangan?PHOTO TAMBANG

Ada kesan kuat bahwa ketentuan UU Minerba ini “setengah hati” didalam mengatur masalah Kewajiban Meningkatkan Nilai Tambah atas Bahan Galian Konsentrat Ore.

Kesan setengah hati ini hampir sama dapat pula kita rasakan  dalam pengaturan mengenai “Kewajiban Divestasi” atas Perusahaan Pertambangan Umum bermodal asing, dimana kewajiban Divestasi disebut, namun tidak ditentukan secara spesifik “Berapa Jumlah Saham yang wajib Di-divestasi secara bertahap serta dalam kurun jangka waktu berapa lama dalam UU Minerba sehingga pada akhirnya persentage Pemegang Saham Nasional menjadi mayoritas 51% .  Didalam UU Minerba hanya disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut akan ditentukan dalam Peraturan Pemerintah.

  • Kembali kemasalah “Larangan Eskpor Konsentrat Ore” ini, yang menjadi pertanyaan besar kita secara hukum adalah, apakah Peraturan dibawah Undang-undang dapat mengatur Ketentuan Yang Melampui apa yang diatur dalam UU Minerba?PENGERUK TAMBANG

Dengan pengertian : apakah Pelarangan Ekspor Konsentrate Ore ini dapat diatur melalui Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri,  sedangkan  di UU Minerba sendiri tidak mengatur adanya Larangan Ekspor Konsentrat Ore ini ?

  • Aspek Hierarchi Hukum atau Tingkatan Kekuatan Hukum  inilah yang kini sedang diajukan dan diproses oleh Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (“Apemindo”)  melalui  Mahkamah Konstitusi mengenai apakah Penafsiran Kewajiban Peningkatan Nilai Tambah ini dapat ditafsirkan sebagai Pelarangan Ekspor Kosentrate Ore…

Nampaknya Pihak Eksekutif maupun Legislatif  didalam membuat Undang-undang Minerba,  terkesan kuat tidak “Terlalu Percaya diri Untuk Menentukan Kearah Mana Kebijakan Pertambangan Umum di Indonesia ini akan dituju” atau “ Tidak ada Visi dan Misi Yang Kuat” dalam Level Undang-undang di Negara ini, untuk berpihak kepada Memperkuapeta-1t Kedudukan Posisi Penguasaan Negara atas Kekayaan Sumber Daya Alam “yang terbatas dan tidak bisa diperbaharui ini”.  Jikalau alasannya adalah agar tidak ada diskriminasi terhadap Investor dibidang Pertambangan Umum antara Investor Asing dan Lokal masalahnya adalah bahwa Bahan Kekayaan Sumber Daya Alam di bumi Indonesia adalah merupakan karunia ALLAH yang “Terbatas dan tidak dapat diperbaharui” lagi, sehingga sesuai dengan amanah UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 merupakaan kekayaan Sumber Daya Alam yang dikuasai Negera dan harus dikelola Negara untuk Kesejahteraan Rakyat Indonesia sebesar-besarnya.

Kita lihat bahwa pengaturan lebih  lanjut atas masalah Peningkatan Nilai Tambah Bahan Galian Konsentrat Ore ini   diserahkan kepada level Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut, sehingga tentunya membuat “Jaminan keadaan kepastian hukum atas Peningkatan Nilai Tambah Bahan Galian Konsentrat Ore” menjadi tanya tanya,  karena pengaturan peraturan level Peraturan Pemerintah tentunya tidak dapat melampaui lebih dari apa yang dibebankan oleh UU Minerba, sehingga bisa kita lihat terjadinya  kepanikan peningkatan Ekspor Konsentrat Ore yang sangat Meningkat dalam kurun waktu 3 (Tiga)  tahun setelah UU Minerba di Undangkan :

  • dan Ekspor bijih bauksit meningkat 500%.
  • ekspor bijih besi meningkat 700%,
  • ekspor bijih nikel meningkat sebesar 800%,
  •      Data diatas,  Penulis peroleh dari sumber  Warta  Mineral dari Direktorat Pertambangan dibawah :

    ·      http://www.minerba.esdm.go.id/library/content/file/28935-Publikasi/008f75e938deed453b91c2a3caa236a42013-11-08-20-03-45.pdf
  • Pengusaha Penambangan tentunya mencari segala cara yang masih dalam batas rambu koridor ketentuan Pertambangan yang berlaku, untuk tidak terkena dampak kerugian finansiil, dimana karena diwajibkan membuat Fasilitas Pengolahan dan Pemurnian Dalam Negeri maupun dikenakan kewajiban melakukan Pengolahan dan Pemurnian Dalam Negeri atas Bahan Ore dengan Kadar Mutu yang ditentukan Pemerintah, tentunya hal ini menambah beban ongkos biaya pengeluaran untuk Investasi Fasilitas Pengelohan maupun Pemurnian Mineral maupun kewajiban Pengolahan dan Pemurnian dalam negeri atas Bahan Ore  yang mereka tambang untuk kadar dan Mutu tertentu yang ditentukan Pemerintah, dimana juga membutuhkan fasilitas infrastuktur pelabuhan untuk dapat mengekspor Bahan Mineral yang telah diolah dan dimurnikan tersebut, sehingga Para Penambangan Sumber Daya Alam ini mengenjot Ekspor Bahan Mentah Ore ini secara drastis seperti tergambar diatas dalam 3 Tahun setelah diundangkannya UU Minerba No.4 tahun 2009.

Dengan melonjaknya secara Drastis  atas kenaikan Ekspor Mineral Raw atau mentah yang  belum diolah oleh Para Penambang Mineral,  membuat Pemerintah “panik”,  karena Pemerintah terkesan  “sangat lambat atau lama” didalam mengeluarkan Peraturan Pelaksananya atas ketentuan kewajiban Pengusaha Tambang melakukan Pengolahan dan Pemurnian “didalam negeri” serta Kewajiban membuat Fasilitas Pengolahan dan Pemurnian Didalam Negerisemenjak Undang-undang Minerba dikeluarkan.

  • Dalam Undang-Undang Minerba Pasal 103 tidak ada ketentuan mengenai Batas waktu Kapan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri wajib dilakukan. Ketentuan Pasal 103 Undang – Undang Minerba No.4 Tahun 2009 hanya berbunyi sebagai berikut :
    • Pasal 103
    1)      Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.

Karena tidak ada batas waktu ini,  terkesan Pemerintah baru pada Tahun 2012,  yaitu 3 (Tiga) Tahun setelah diundangkannya Undang-Undang Minerba No.4 Tahun 2009 ini, mengeluarkan berbagai  Peraturan Pelaksana dari  beberapa Menteri terkait  setelah melihat adanya Peningkatan Drastis Kegiatan Ekspor yang dilakukan oleh Para Investor penambangan yaitu oleh  :

Peraturan Pemerintah No.

Menteri ESDM 

  •  pada tanggal 16 Februari 2012  diterbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 07 tahun 2012    tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral.
  • pada tanggal 16 Mei 2012 dilakukan perubahan dengan diterbitkannya Peraturan Menteri ESDM No. 11 tahun 2012

Menteri Perdagangan .

  •  Penerbitan Peraturan Menteri ESDM tersebut ditindaklanjuti dengan Permendag Nomor: 29/M-DAG/PER/5/2012 tentang Ketentuan Ekspor Pertambangan dan
    •  Menteri Keuangan:
  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.

Kita temukan bahwa dalam Permen ESDM No. 11 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Permen ESDM No. 7 Tahun 2012, yang ditandatangani Menteri ESDM pada 16 Mei 2012, menentukan antara lain diantara Pasal 21 dan Pasal 22 Permen ESDM No. 7 Tahun 2012 disisipkan satu Pasal yaitu Pasal 21A yang terdiri dari 2 ayat :

Ayat (1) berbunyi Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dapat Menjual Bijih (“Raw Material atau Ore”) Mineral ke Luar Negeri apabila telah mendapatkan Rekomendasi dari Menteri cq Direktur Jenderal

Ayat(2) rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah Pemegang IUP Operasi Produksi dan IPR memenuhi persyaratan. Antara lain, status IUP Operasional produksi dan IPR adalah tidak bermasalah          ( Clear and Clean), melunasi Kewajiban Pembayaran Keuangan kepada Negara, Menyampaikan Rencana kerja dan/atau kerjasama dalam Pengelohan dan /atau Pemurnian Mineral didalam Negeri, dan mendatangani Pakta Integritas.

Kita lihat bahwa Pasal 21 Permen No. 7 Tahun 2012 menyebutkan, perusahaan Tambang Dilarang Mengekspor Bijih Mineral Paling Lambat 6 Mei 2012

Permen ESDM No. 11 Tahun 2012 juga menyebutkan diantara Pasal 25 dan Pasal 26 sebelumnya disisipkan satu Pasal yakni Pasal 25A.

Memuat ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian Rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21A dan Konsultasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) , Pasal 23 (3), Pasal 24 ayat(3) dan Pasal 25 ayat (3) diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal

Selanjutnya ketentuan lebih lanjut mengenai petunjuk teknis pelaksanaan peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal.

Terkait larangan Ekspor Bijih Raw Material atau Ore,  semestinya di UU Minerba selain kewajiban melakukan Nilai Tambah dengan Kewajiban melakukan Pengolahan/Peleburan dalam negeri bagi Penambang dalam rangka Kewajiban Melakukan Nilai Tambah atas Konsentrate Ore juga ditentukan larangan Ekspor Ore Mentah dengan kadar yang ditentukan Pemerintah dan DPR, namun diberi waktu yang wajar untuk dilarang diekspornya Ore dengan kadar tersebut serta batas waktu persiapan didirikannya Perusahaan Peleburan /Pengolahan untuk melakukan Investasi dengan feedstock yang memadai dari Para Penambang, sehingga bisa dikalkulasi secara ekonomis investasi serta masa waktu Return of Invesment (“ROI”)serta profit Penambang baik Pengusaha Smelter maupun Perusahaan Penambangan.

  • Kalau untuk  PT FI karena sudah  ada ketentuan membangun Smelter 5 tahun setelah ditandatangani COW atas dasar jika belum ada fasilitas peleburan dan pemurnian tembaga yang berlokasi di Indonesia atau belum ada proses dibangunnya Smelter,  dengan tunduk kepada penilaian bersama antara Pemerintah Indonesia  dan PTFI atas kelayakan ekonomi dari Pabrik Peleburan dan Pemurnian,  maka PTFI yang telah semenjak tahun 1967 melakukan Penambangan di Indonesia tentunya sudah mengkalkulasi ke-ekonomian investasinya.

Pada kenyataannya juga sudah ada Joint Venture  PT Smelter Gresik,  dimana PT Freeport sharenya 25%,  tapi nampaknya terindikasi mungkin belum memenuhi standard pemurnian yang ditentukan Pemerintah dan DPR.

Kalau larangan Ekspor di Pasal 11 ayat 2 COW ada ketentuan: …

provided that the Government shall have the right on a basis which is of general applicability and non discriminatory as to the Company to prohibit the sale or export of Minerals or Products if such sale or export would be contrary to the international obligations of the Goverment or to external political considerations affecting the National Interest of Indonesia ( Catatan : mungkin ini adalah larangan export ke Negara yang tidak diakui Indonesia  dan tidak ada kaitannya dengan Kewajiban Nilai Tambah Ore).

Demikianlah sekilas tulisan menjelang Akhir Desember Tahun 2015…guna menjadi bahan renungan kita bersama ….

Jakarta,
28 Desember 2015 revisi 6 Januari 2016
Agung Supomo Suleiman SH

Peduli Pemberdayaan Negara Atas Sumber Daya Alam

melalui Undang-undang

 

 

15 Februari 2014

3 TAHUN DRASTIS PENINGKATAN EXPORT RAW ORE VERSUS DRASTIS BEBAN BEA KELUAR TINGGI RAW ORE

Dari pengamatan Penulis  3(tiga) Tahun semenjak Undang-Undang Minerba No.4 Tahun 2009 dikeluarkan, dimana terdapat  ketentuan kewajiban Pengusaha Tambang untuk melakukan Pengolahan dan Pemurnian “didalam negeri” serta Kewajiban membuat Fasilitas Pengolahan dan Pemurnian 5 (lima) Tahun semenjak Undang-undang Minerba ini dikeluarkan, terlihat bahwa terjadi “PENINGKATAN  DRASTIS” atas Pengeksporan Mineral dalam keadaan Mentah-Raw  Ore Keluar Negeri dari Bumi Indonesia         

  • ekspor bijih nikel meningkat sebesar 800%,

·          Ekspor bijih besi meningkat 700%,

·         dan Ekspor bijih bauksit meningkat 500%.

Dengan melonjaknya secara Drastis  atas kenaikan Ekspor Mineral Raw atau mentah belum diolah oleh Para Penambang Mineral nampaknya Pemerintah Menjadi “panik” dan seperti “Kebakaran Jenggot”,

  • padahal Pemerintah Sendiri terkesan  “sangat lambat atau lama” didalam mengeluarkan Peraturan Pelaksananya atas ketentuan kewajiban Pengusaha Tambang melakukan Pengolahan dan Pemurnian “didalam negeri” serta Kewajiban membuat Fasilitas Pengolahan dan Pemurnian Didalam Negerisemenjak Undang-undang Minerba ini dikeluarkan.Dalam Undang-Undang Minerba khsusnya Pasal 103 tidak ada ketentuan mengenai Batas waktu Kapan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri wajib dilakukan. Ketentuan Pasal 103 Undang – Undang Minerba No.3 Tahun 2009 hanyalah berbunyi sebagai berikut :
    • Pasal 103

    1)      Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.

Mungkin karena tidak ada batas waktu tersebut,  maka nampaknya Pemerintah baru Tahun 2012 yaitu 3 (Tiga) Tahun setelah diundangkannya Undang-Undang Minerba No.4 Tahun 2009, mengeluarkan berbagai  Peraturan Pelaksana dari  beberapa Menteri terkait baru  dikeluarkan setelah melihat adanya Peningkatan Drastis Kegiatan Ekspor yang dilakukan oleh Para Inverstor penambangan yaitu oleh  :

        Menteri ESDM 

  •  pada tanggal 16 Februari 2012  diterbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 07 tahun 2012    tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral.
  • pada tanggal 16 Mei 2012 dilakukan perubahan dengan diterbitkannya Peraturan Menteri ESDM No, 11 tahun 2012

Menteri Perdagangan .

  •  Penerbitan Peraturan Menteri ESDM tersebut diatas  ditindaklanjuti dengan Permendag Nomor: 29/M-DAG/PER/5/2012 tentang Ketentuan Ekspor Pertambangan dan
    •  Menteri Keuangan:
  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.
  • Pengusaha Penambangan sebagaimana biasanya tentunya akan mencari segala kiat yang masih dalam batas rambu koridor ketentuan Pertambangan yang berlaku  bagaimana menekan ongkos Penambangan, dimana kalau diwajibkan untuk membuat Fasilitas Pengolahan dan Pemurnian dalam negeri maupun dikenakan kewajiban untuk melakukan Pengolahan dan Pemurnian Dalam Negeri atas Bahan Ore dengan Kadar Mutu yang ditentukan Pemerintah, berarti secara jelas hal ini  akan menambah beban ongkos biaya pengeluaran untuk Investasi Fasilitas Pengelohan maupun Pemurnian Mineral maupun kewajiban untuk Pengolahan dan Pemurnian dalam negeri atas Bahan Ore  yang mereka tambang untuk kadar dan Mutu tertentu yang ditentukan Pemerintah, dimana juga membutuhkan fasilitas infrastuktur pelabuhan untuk dapat mengekspor Bahan Mineral yang telah diolah dan dimurnikan tersebut.  Photo PT FI di Highland

Kepastian Ketentuan peraturan pelaksana atas Undang-undang Minerba No. 4 Tahun 2009 diatas jelas ditunggu Investor Tambang guna dapat mengkalkulasi biaya  operasional mereka.

Namun disebabkan ternyata dalam 3 Tahun tersebut setelah Undang-Undang Minerba, Pemerintah “terlihat belum siap dengan peraturan pelaksananya”, maka terjadilah “suatu kesempatan waktuvacum Peraturan pelaksananya”  yang bagi Investor Tambang tentunya digunakan untuk mencari peluang tidak terkena Biaya  tambahan fasilitas maupun kewjiban pengolahan dan pemurnian tersebut, dengan menggencot “secara Drastis” Pengeksporan  Bahan Mineral tersebut secara Masive karena  mumpung belum ada Peraturan Pelaksananya dari Pemerintah atas UU Minerba tersebut yang terlihat dari peningkatan ekspor Raw Ore 500% hingga 800% keluar Wilayah Republik Indonesia.

  • Kita dapat amati bahwa secara dalam Undang-Undang Minerba tidak ditentukan sama sekali adanya batas waktu kapan kewajiban Pembuatan Pengelohan dan Pemurnian maupun kapan Perusahaan Tambang harus mulai melakukan Pengolahan dna Pemurnian dalam Negeri. Maka jelas kelihatan disini bahwa memang Pemerintah belum siap dengan perangkat Hukum Pelaksananya pada saat diterbitkannya Undang-Undang Minerba tersebut.

Terkait dengan aspek hukum Kontrak Karya dari PT Freeport Indonesia, kita bisa ketahui bahwa  sebenarnya keinginan dari Pemerintah bagi PT Freeport Indonesia untuk melakukan pembuatan Fasilitas Pengolahan dan Pemurnian maupun Pengolahan dan pemurnian dari Bahan Konsentrat Tembagan dari PT Freeport sesuai dengan  Pasal 10 ayat 5  Kontrak Karya adalah  5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal  30 Desember 1991 sebagai  Tanggal ditandatanganinya Kontrak Karya dari Kontyrak Karya dengan Pemerintah RI yang telah dikonsultasi dengan DPR. Maka kita dapat melihat bahwa  5 (lima) tahun semenjak Tahun 1991 adalah tahun 1996.

  • Terkait dengan Kesepakatan ini, PT Freeport Indonesia melalui affiliasinya PT Smelting Gresik Smelter di Surabaya  telah membangun Fasilitas Smelter atau Pengolahan dan Pemurnian, dimana Mitsubishi Materials memiliki Saham 60.5% sedangkan  PT Freeport Indonesia Equity sahamnya sebesar 25% dan Nipppon Mining and Metals Co. sebesar 5.%

Adapun yang membangun Fasiltas Smelter ini adalah Chiyoda dengan Biaya Pembangunan Fasiltas USD 500 juta.Bayangkan Feedstock smelter adalah dikapalkan dari Freeport Grassberg yang berjarak 2,600 Kilomerter Lokasi Smelternya adalah dekat dengan Petrokimia Fresik, suatu Perusahaan Pemerintah Fertilizer, yang menggunakan smelter sufuric acid, hal ini yang menjadi pertimbangnn Utamanya mengapa lokasinya di Gresik   Website  PT Smelting Gresik,Smelter.

  • Pertanyaan mendasarnya kalau memang sudah dibangun Smelter diatas, kenapa PT Freeport Indonesia masih merasa berat dikenakan Bea Export yang Tinggi yaitu 50%   atas Bahan Mineral yang ditambangnya yang “masih Belum Diolah (Raw Ore-ore mentah),  dengan alasan Kontrak Karya yang telah mengatur masalah beban Bea Keluar atas Produk Mineral Tembaga dan Emas tidak setinggi seperti yang dikenakan oleh Menteri Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan No.6/PMK.011/2011 No.6 yang dikeluarkan  pada Tahun 2014 yang merupakan Kebijakan dan Ketentuan pengenaan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar Barang Mineral ditentukan bahwa BEA KELUAR PROGRESSIF :
    • tarif bea keluar untuk tembaga sebesar 25%,
    • sedangkan untuk komoditas mineral yang lainya hanya sebesar 20%.
    • pada semester pertama 2015 kenaikan bea keluar berlaku untuk tembaga dinaikkan menjadi sebesar 35%  dan
  • di semester kedua 2015 menjadi 40%.
    • Sedangkan untuk komoditas mineral lainnya, pada semester pertama 2015 dinaikkan menjadi 30% dan
    • di semester kedua 2015 sebesar 40%.
  • Kenaikan tarif pun terjadi  Tahun 2016 untuk seluruh komoditas mineral yakni di semester pertama menjadi 50% dan di semester kedua sebesar 60%.

bagi yang mengekspor Bahan Galian yang belum diolah hingga Tahun 2017 sebagai Batas Waktu dibuatnya Peleburan (Pengolahan) dan Pemurnian Bahan Galian Tambang di Wilayah  Tambang Indonesia. Lubang Ngangan Juga PT Freeport Indonesia

Kemungkinan yang bisa terjadi adalah bahwa PT Freeport Indonesia  nampaknya “belum Mengolah Konsentrat Tembaganya – dalam Jumlah Volume atau Kadar Batas Mutu yang ditentukan oleh Pemerintah – di Smelter Gresik Surabaya, karena Fasilitas ini “Nampaknya”  belum memadai atau pertanyaan yang mengeletik adalah : kenapa PT Freeport Indonesia  misalnya tidak membangun Fasilitas Pengolahan dan Pemurnian di Papua yang dekat dengan Fasilitas Pelabuhan Laut dalam di low land.  

  • Pemerintah nampaknya Belum Membuat Ketentuan Yang Memaksa  terhadap Investor Hulu (Explorasi) maupun Investor Hilir (Pengolahan dan Pemurnian) untuk dibuatnya Fasilitas Pengolahan dan Pemurnian Bahan Mineral yang dapat memproses Batas Minimum Kadar atau Mutu Produk Konsentrat Tembaga Freeport yang ditambang di Wilayah Tambang Grassberg Papua Indonesia), sehingga PT Freeport merasakan tidak dipaksa untuk mengolah Bahan Konsentrat Tembaga di Indonesia  dengan Batas Mutu yang ditentukan oleh Pemerintah guna dapat segera memberikan Nilai Tambah atas Penambangan Bahan Galian Tembaga   – sebab sekarang kita “sudah memasuki tahun 2014” yaitu ( 2014 dikurangi 1991 adalah SUDAH LEWAT  23 (Dua puluh Tiga Tahun)  setelah ditandatanganinya perpanjangan Kontrak Karya PT Freeport atau
  • Pada kenyataannya sudah  “18 (Delapan) Tahun Lewat “ setelah   5 (lima) Tahun keinginan Pemerintah dibangunnya Fasilitas Pengolahan (Peleburan dan  Pemurnian) Konsentrat Tembaga  oleh PT Freeport, dan memang ketentuan dalam Pasal 10 ayat 5 dari Kontrak Karya ini tidaklah merupakan ketentuan yang dapat memaksa PT Freeport karena bunyi Klausula dari Pasal 10 ayat 5 juga tidak terlalu keras memberikan suatu kewajiban kepada PT Freeport untuk membangun Fasilitas Peleburan (Pengolahan) dan Pemurnian melainkan hanyalah suatu keinginan dari Pemerintah agar PT Freeport Indonesia membangun Fasilitas Peleburan dan pemurnian di dalam negeri, dimana ditentukan bahwa apabila PT Freeport belum membangun Fasilitas Peleburan dan pemurnian tersebut dalam 5 tahun setelah ditandatangani Kontrak Karya,  maka apabila Pemerintah meminta,  PT Freeport setuju untuk mengolah Konsentrat Tembaga di dalam Negeri Indonesia, ke suatu Fasilitas Peleburan (Pengolahan) dan Pemurnian  yang ditentukan PemerintahIMG_1588
  • Terkait dengan bagaimana dengan Konsentrat Emasnya, Penulis masih harus meneliti lebih jauh bagaimana pengaturannya di Kontrak Karya  antara   PT Freeport Indonesia dengan Pemerintah tanggal 30 Desember 1991.

Berdasarkan analisa Hukum diatas,  nampaknya Pemerintah tidak mau terlalu memberikan kewajiban kepada PT Freeport untuk Membangun Fasilitas  Pengolahan dan Pemurnian dari Konsentrat Tembaga dari  PT Freeport di Indonesia  di Indonesia dengan Batas Mutu Kadar Konsentrat yang ditentukan oleh Pemerintah,  guna dapat memberikan Nilai Tambah bagi Masyarakat Indonesia sesuai dengan amanah Pasal 33 (3) dari Undang-undang Dasar 1945, namun Pemerintah bisa meminta PT Freeport untuk mengolah Konsentrat Tembaga di didalam Negeri, jika ada suatu Fasilitas Pengolahan dan Pemurnian didalam negeri yang dapat mengolah Konsentrat Tembaga yang berasal dari Wilayah Pertambangan PT Freeport sesuai dengan kadar yang ditentukan Pemerintah. 

  • Terkait dengan terjadinya Langkah dan Tindakan Kontraktor Pertambangan dalam 3 (Tiga) tahun setelah diundangkannya UU Minerba No. 4 Tahun 2009 untuk  mengekspor secara DRASTIS – 500 % hingga 800% KENAIKAN  EKSPOR BAHAN MINERAL RAW ORE  Yang Belum Diolah” yang berasal dari  Wilayah Pertambangan Indoneasia, Pemerintah nampaknya seperti “Kebakaran Jenggot” dan dipaksa harus melakukan suatu Kebijakan yang Drastis juga agar mencegah terjadinya pengurasan lebih jauh Bahan Mineral Mentah dari Bumi Indonesia bg_ag
  • Hal ini dapat terjadi karena Pemerintah memang belum mengeluarkan Peraturan Pelaksananya, sehingga Penambang Bahan Galian Mineral, jelas pada kenyataannya “Menggencot Mengekspor Bahan Ore Raw
  •  bijih nikel meningkat sebesar 800%,
  •  bijih besi meningkat 700%,
          • Bijih bauksit meningkat 500%.

o     yang belum di-Olah didalam Negeri sehingga terjadi reaksi dimana Pemerintah  mengambil Langkah “DRASTIS PULA” melalui Menteri Keuangan dengan Mengeluarkan “Ketentuan Pemaksaan” yaitu PENGENAAN suatu Bea Keluar Progressif  sebesar 50%  (sangat tinggi) hingga waktu  sampai Tahun 2017  yaitu Batas waktu Kewajiban Untuk Membuat Fasilitas Hilirisasi Pengolahan dan Pemurnian atas BAHAN Tambang dengan Batas Mutu yang ditetapkan oleh Pemerintah, maupun Kewajiban  Pengolahan dan Pemurnian dan Batas Mutu yang ditentukan oleh Menteri ESDM atas Bahan Mentah Raw Ore guna dapat ” Memberikan Payung Yang Pasti ” kepada Masyarakat Indonesia Nilai Tambah Peningkatan Mutu Kesejahteraan Hidup yang diperoleh dari Nilai Tambah Bahan Tambang dengan Memenhuhi Mutu tertentu “.

  •     Hal ini jelas merupakan Strategi “ instrumen Hukum” untuk “Memaksa Investor Tambang untuk segera Menyelesaikan Fasililtas Pengolahan dan Pemurnian di Indonesia” demi memberikan Nilai Tambah kepada Kegiatan Penambangan di Indonesia bagi kesejahteraan Masyarakat Indonesia sesuai Undang-Undnag Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3.

      Namun demikian untuk memberikan Rasa Keseimbangan Bagi Inverstor Penambangan, tentunya Pemerintah juga harus memberikan Investor Tambang Hilir suatu “Ketentuan Insentif” selain Disinsentif, guna dapat memberikan Keringanan  Beban Biaya  dalam Periode Membangun Fasilitas Pengolahan – dan Pemurnian, maupun mengimbangi Beban Investor Tambang untuk memproses dan menambang di Fasilitas Pengolahan (Peleburan) dan Pemurnian yang dimiliki Perusahaan Hilir tersebut  .

 ·         Berdasarkan sumber dari Warta  Mineral dari Direktorat Pertambangan kita peroleh data bahwa hingga Januari 2013 terdapat :

·         http://www.minerba.esdm.go.id/library/content/file/28935-Publikasi/008f75e938deed453b91c2a3caa236a42013-11-08-20-03-45.pdf

 Terdapat :

  • ·          185  Pengajuan Rencana Pengajuan Rencana Pengolahan dan Pemurnian sebelum Permen ESDM No. 7/2012 dan Sesudah Permen ESDM No. 7/2012:

    Status Smelter

    Jumlah 

     

    Pengolahan & Pemurnian Telah Beroperasi 

     

     

    7

     

    Pengajuan Rencana Pengolahan dan Pemurnian sebelum Permen ESDM No. 7/2012

     

    24

    Pengajuan Rencana Pengolahan dan Pemurnian setelah Permen ESDM No. 7/2012

    154

    TOTAL

    185 

  •  ·         9 ( sembilan) fasilitas pengolahan dan pemurnian yang berpotensi untuk dibangun dengan diagaram sebagai berikut:

1

PT Aneka Tambang, Tbk

Halmahera Timur Buli) Malut

Bijih Nikel Fe

Ni

KONSSTRUKSI

2

.PT Bintang Delapan Mineral

Morowali, Sulteng

Bijih Nikel FeNi

Konstruksi

3.

PT Stargate Pasific Resources

Konawe Utara, Sultra

Bijih Nikel NPI

Konstruksi

4.

PT Putra Mekongga Sejahtera

Kolaka, Sutra

Bijih Nikel NPI

Konstruksi

5.

PT Meratus Jaya Iron Steel

Batu Licin, Kalse

Bijih Besi Pig Iron

Konstruksi

6

PT Indonesia Chemical Alumina

Tayan, Kalbar

Bauksit CGA

Konstruksi

7.

PT Sebuku Iron Lateritic Ore

Kotabaru, Kalsel

Bijih Besi

Konstruksi

8.

PT Kembar Emas Sultra

Konawe Utara, Sultra

Bijih Nikel NPI

Studi Kelayakan

9.

PT Delta Prima Steel

Tanah Laut, Kalsel

Bijih Besi Sponge Iron

Konstruksi

Demikianlah analisa Penulis terkait 3 TAHUN DRASTIS PENINGKATAN EXPORT  RAW ORE VERSUS DRASTIS BEBAN  BEA KELUAR TINGGI RAW ORE

Agung Supomo Suleiman

Independent Business Lawyer

Jakarta  15 Februari 2014

AGUNGSS BUSINESS LAWYER

SULEIMAN  AGUNG & CO ( SACO Law Firm)

11 Februari 2014

ASPEK HUKUM KONTRAK KARYA TERKAIT KEWAJIBAN PENGOLAHAN PEMURNIAN MINERAL

Penulis telah menulis  NUANSA YANG MELINGKUPI KONTRAK KARYA PERTAMBANGAN BERBEDA JAUH TAHUN 2014 DAN TAHUN 1967 di Indonesiayaitu 44 Tahun semenjak Penaman Modal Asing pertama kali di Undang Masuk ke Indonesiasudah jauh berbeda, dimana menurut Penulis PT Freeport  Indonesia secara Hukum Kontraktual adalah “TERIKAT” dan  sudah selayaknya “Patuh dan Menghormati” Kebijaksaan Pemerintah RI terkait Pengolahan PRODUK HASIL GALIAN TEMBAGA  dalam Negeri, sesuai dengan ketentuan dan kondisi yang telah disepakati baik oleh Pemerintah dan PT Freeport Indonesia dalam Kontrak Karya tertanggal 30 Desember 1991 khususnya  Pasal 10 Ayat 5 yang menentukan bahwa

  • Perusahaan (dalam hal ini PT Freeport Indonesia) menyadari Kebjaksanaan Pemerintah untuk mendorong pengolahan di dalam negeri semua kekayaan alamnya menjadi produk akhir apabila layak.

  • bg_agPerusahaan juga menyadari  keinginan Pemerintah agar Fasiltas Peleburan (Pengolahan)  dan Pemurnian Tembaga didirikan di Indonesia dan setuju bahwa Perusahaan akan menyediakan Konsentrat Tembaga yang dihasilkan dari Wilayah Kontrak untuk Fasiltas Peleburan (Pengolahan)  dan Pemurnian yang didirikan di Indonesia tersebut dengan ketentuan dibawah ini 

Selama suatu Jangka Waktu dimana fasilitas-fasilitas peleburan dan pemurnian untuk suatu produk tambang dari Perusahaan belum dibangun di Indonesia oleh atau atas nama Perusahaan, atau setiap subsidiari yang seluruhnya dimiliki Perusahaan, akan tetapi sudah dibangun di Indonesia oleh Badan lain, Perusahaan ( PT Freeport Indonesia “HARUS” apabila “diminta oleh Pemerintah” menjual produk-produk Tambang tersebut kepada Badan Lain dimaksud dengan :

  • “Harga dan Kondisi” yang tidak kurang menguntungkan bagi badan tersebut dibanding yang dapat diperoleh Perusahaan dari pembeli-pembeli lain

  • untuk jumlah dan mutu yang sama dan

  • pada waktu yang sama

  • serta tempat dan waktu penyerahan yang sama,

  • dengan ketentuan bahwa kondisi kontrak masing-masing dan kondisi-kondisi yang diberikan oleh Perusahaan kepada Badan Lain tersebut tidak akan kurang menguntungkan bagi Perusahaan.

IMG00209-20120429-1536Lebih Lanjut juga ada ketentuan bahwa Apabila dalam waktu 5(lima) tahun sejak ditandatanganinya Persetujuan (Kontrak Karya) ini, Fasilitas Peleburan (Pengolahan)  dan Pemurnian Tembaga yang berlokasi di Indonesia “Belum Dibangun” atau tidak dalam proses untuk dibangun oleh Badan Lain,

–> maka, tunduk kepada penilaian bersama oleh Pemerintah dan Perusahaan atas kelayakan ekonomi suatu Pabrik Peleburan dan Pemurnian,

Perusahaan”HARUS” melakukan atau menyebabkan dilakukannya pendirian Fasilitas Pengolahan dan Pemurnian Tembaga di Indonesia sesuai dengan Kebijaksanaan Pemerintah. Lubang Ngangan Juga PT Freeport Indonesia

  • Berdasarkan ketentuan diatas dalam Perjanjian Kontrak Karya  yang telah ditandatangani dan disetujui bersama oleh  kedua belah pihak yaitu PT Freeport Indonesia dan Pemerintah RI mengenai Pembangunan Peleburan (Pengolahan) dan Pemurnian Tembaga tersebut diatas,  maka PT Freeport Indonesia menuru Penulis secara Hukum Kontraktual adalah “SANGAT MENGETAHUI” adanya kebijaksanaan PEMERINTAH yang menghendaki agar :
  • Dibangunnya Fasilitas Peleburan (Pengolahan) dan Pemurnian atas Produk Bahan Galian Tambang di Indonesia, maupun

  • keharusan PT Freeport  Indonesia untuk menjual Hasil Bahan Galian yang ditambang dari Wilayah Tambang di Irian Barat atau Papua sesuai dengan Batas Wilayah yang tersebut dalam Kontrak Karya diatas, sesuai dengan permintaan dari Pemerintah.

Dengan demikian terkait dengan Opini dari Hikmanto Juwana di Koran Kompas hari Sabtu tanggal 8 Februari 2014 dibagian Opini halaman 7 dengan Judul Freeport dan Newmont, yang di dunia Maya internet juga dapat kita temukan pada Blog FREEPORT DAN NEWMONT (HIKMANTO YUWANA) GURU BESAR UI dimana terindikasi bahwa  CEO Freeport -McMoran Copper & Gold. Inc. Richard C.Adkerson telah terbang dari New York ke Jakarta menemui sejumlah Menteri terkait kebijakan Bea Keluar yang dikenakan Pemerintah RI melalui Permenkeu No. 6/ PMK.011/2014 (“PMK 6”), dimana Freeport maupun Newmont menyatakan keberatan dengan dikenakan Bea Keluar oleh Pemerintah yang tinggi apabila pengolahan belum sampai ketingkat yang diharapkan dengan ancaman akan membawa Pemerintah ke Arbitrasi Internasional, menurut hemat Penulis Rasa Keberatan dari Freeport  atas Kebijaksanaan Perintah RI – Menteri Keuangan PMK 6 ,  perlu kita amati dari Aspek Hukum Kontrak Karya terkait kewajiban Pengolahan dan Pemurnian Mineral Dalam Negeri mengingat secara Hukum Perjanjian,  PT Freeport Indonesia,  sesuai dengan Ketentuan Pasal 10 ayat 5 dari Kontrak Karya tersebut diatas,  telah setuju dan terikat untuk :

a) Membuat Fasiltas Peleburan (Pengolahan) dan Pemurnian atas Bahan Galian Tambang Tembaga di wilayah Indonesia, maupun

b) Keharusan PT Freeport Indonesia atas permintaan Pemerintah untuk menjual Bahan Galian Tambang Tembaga tersebut kepada Badan yang membuat Peleburan(Pengolahan) dan Pemurnian tersebut. 

IMG_1588Selanjutnya sesuai dengan pengamatan Penulis,  pada Pasal 11 Ayat 2 dari Perjanjian Kontrak Karya antara      PT Freeport Indonesian  dan Pemerintah Indonesia tanggal 30 Desember tahun 1991 tersebut diatas, PT Freeport Indonesia juga telah menyetujui  dan terikat pada  ketentuan bahwa:

  • “Pemerintah mempunyai hak atas dasar yang berlaku umum dan tidak mendiskriminasi terhadap Perusahaan(PT Freeport Indonesia Company) untuk “Melarang Penjualan atau Ekspor mineral-mineral atau Produk apabila penjualan atau ekspor tersebut akan “Bertentangan  dengan kewajiban-kewajiban International dari Pemerintah atau menurut pertimbangan politik luar negeri akan mempengaruhi “kepentingan Nasional Indonesia” .

  • Penulis juga mengetahui sewaktu Penulis bekerja sebagai Inhouse di PT Freeport Indonesia, bahwa PT Freeport Indonesia melalui affiliasinya yaitu  PT Smelting, Gresik Smelter telah membuat Fasilitas Peleburan (Pengolahan) atau Smelter di Surabaya, namun Penulis maupun kita masih perlu mengamati  lebih lanjut berapa bagian dari Hasil Produk Tambang Galian PT Freeport Indonesia yang dilebur atau diolah di PT Smelting, Gresik Smelter di Surabaya tersebut dan berapa bagian dari Bahan Galian tambang dari PT Freeport Indonesia yang diolah diluar Wilayah  Indonesia, mengingat pertanyaan mendasar “Mengapa Freeport keberatan dengan ketentuan PMK 6 diatas sebagaimana diindikasikan dalam Opini Hikmanto Yuwana  tersebut diatas.

  • Dari data Internet websitenya PT Smelting, Gresik Smelter Penulis mendapatkan data sebagai Berikut:
  • berikut ini dari Website PT Smelting, Gresik Smelter :

  • QUOTE – BAGIAN Yang Di Cut Paste dari Website :

    http://www.mmc.co.jp/sren/Gresik.htm

     

    Description: http://www.mmc.co.jp/sren/return.gifReturn to Menu

    P.T. SMELTING, GRESIK SMELTER

PT Smelting (PTS)’s Gresik Copper Smelter and Refinery is located 30 kilometers north of the city of Surabaya, East Java major port.  PTS equity partners are Mitsubishi Materials with 60.5%, PT. Freeport Indonesia with 25%, Mitsubishi Corporation with 9.5%, and Nippon Mining and Metals Co. Ltd. with 5.0%.

The entire smelter feedstock comes by ship from Freeport Grasberg mine on West Papua, some 2,600 kilometers to the East.

The smelter is adjacent to Petrokimia Gresik, a government owned fertilizer company, which utilizes all of the smelter sulfuric acid.

This was a prime reason for selecting the Gresik location. 

UNQUOTE – Selesai Bagian yang di Cut Paste dari Website  PT Smelting Gresik,Smelter

Berdasarkan data diatas terindikasi bahwa PT Freeport Indonesia melalui Affiliasinya PT Smelting,  Gresik Smelter

dimana PT Freeport Indonesia memiliki Saham sebesar  25% di  perusahaan PT Smelting,  Gresik Smelter telah membuat Fasilitas Pengolahan ( Smelter) sebagaimana terurai dari Data Website diatas.

Bahwa  Pemerintah pada Tahun 2014 ini, telah  membuat Kebijaksanaan dan Ketentuan melalui

  • Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2014 yang mengadakan perubahan atas Ketentuan Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2010 sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan batubara, diubah antara Pasal 112B dan Pasal 113 disisipkan 1(satu) Pasal yakni Pasal 112C sehingga 

  • Intisarinya KEWAJIBAN Pengolahan dan Pemurnian Dalam Negeri  :

  • terkait Kontrak Karya

  • angka 1) Pemegang Kontrak Karya sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 170 Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara wajib melakukan permurnian hasil pertambangan didalam Negeri.

  • angka 3) Pemegang Kontrak Karya sebagaimana dimaksud dalam angka 1 diatas  yang melakukan kegiatan pemurnian dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam Jumlah tertentu.

  • Ketentuan Lebih lanjut mengenai Pelaksanaan Pengolahan dan Pemurnian serta Batasan Minimum Pengolahan dan Pemurnian diatur dengan Peraturan Menteri.
  • melalui PMK 6 Kebijaksanaan dan Ketentuan pengenaan Bea Keluar yang tinggi bagi yang mengekspor Bahan Galian yang belum diolah hingga Tahun 2017 sebagai Batas Waktu dibuatnya Peleburan(Pengolahan) dan Pemurnian Bahan Galian Tambang di Wilayah  Tambang Indonesia

  • merupakan Kebijaksanaan Pemerintah untuk  “Kepentingan Nasional”  dalam rangka menjamin terciptanya Kepastian Hukum didalam memberikan “Nilai Tambah” atas Hasil Tambang kepada Kesejateraan Masyarakat Indonesia  sebagai amanah pelaksanaan Pasal 33 (3) Undang-Undang Dasar 1945. 

  • Maka sudah Saatnya PEMERINTAH Indonesia Benar-benar Harus Mempunyai Kemauan Politik dan Landasan PAYUNG Hukum yang kuat untuk membuat Landasan Payung yang jelas dalam mempertahankan Kebijasanaan yang telah dibuat tersebut,  guna dapat lebih memberikan “Kepastian Pemberian Jaminan kesejahteraan kepada Masyarakat Indonesia”  yang berjumlah 240 Juta,  sesuai dengan Pasal 33 (3) Undang-Undang Dasar Indonesia, karena memang “KEDUDUDUKAN DAN KEKUATAN PEMERINTAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA beserta semua Profesional AHlinya dalam Bidang Pertambangan serta Pengusaha Indonesia dalam Pertambangan Di Indonesia  kesiapannya sudah  “Jauh Berbeda dengan keadaan pada Tahun 1967 atau 44 Tahun yang lalu, meskipun tentunya ada aspek external  terkait keuangan Global maupun Domestik .

  • Sebagaimana kita ketahui PT Freeport maupun Perusahaan Tambang Asing, senantiasa akan mendalilkan bahwa “Kontrak Karya” yang telah ditandatangani Pemerintah melalui Menteri Pertambangan dan Energi, dan telah dikonsultasikan  dengan DPR atau MPR, akan berusaha mendalilkan bahwa Kontrak Karya berlaku Lex Spesialis Derogat Lex Generalis  terhadap Peraturan Pemerintah  No. 1 Tahun 1914 maupun PMK 6 tersebut  atau Kontrak Karya adalah Peraturan Khusus yang Mengesampingkan Peraturan Umum. 

  • Penulis mengetahui bahwa sewaktu Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1994 mengenai ketentuan umum adanya Pelonggaran Kewajiban Divestasi – Pemegang Saham Asing  dimana  Pemegang Asing diperusahaan umum akan tetap dapat mempertahankan Mayoritas 95% Saham dan yang diwajibkan di- Divestasi hanyalah 5% saja menjadi Pemegang Saham Nasional atau Lokal, maka PT Freeport Indonesia Company berkeinginan untuk menikmati perlonggaran Divestasi tersebut.

  • Kita mengetahui bahwa dalam Kontrak Karya PT Freeport Indonesia Company dan Pemerintah Indonesia tertanggal 30 Desember 1991,  pada Pasal 24  ayat 2 butir b …

    • ditentukan Perusahaan “diharuskan” menjual atau berusaha menjual pada penawaran umum di Bursa Effek Jakarta, atau  dengan cara lain kepada Pihak Nasional Indonesia dengan saham-saham yang cukup untuk jumlah yaitu 51% (lima puluh satu persen) dari modal saham Perusahaan yang diterbitkan, tidak lebih lambat dari ulang tahun ke 20(duapuluh) tanggal ditandatanganinya Persetujuan (Perjanjian Kontrak Karya ini), sampai mencapai yang dikendekai oleh Pemerintah sesuai dengan Peraturan Perundangan yang berlaku …..

    Oleh karenanya kita melihat bahwa sesuai ketentuan Divestasi diatas maka 20 Tahun setelah 30 Desember 1991 yaitu 30 Desember 2006 – Saham Pemodal Asing Harus  ter- divestasi  menjadi 49% dari seluruh saham yang diterbitkan oleh PT Freeport Indonesia Company dan Pemegang Shama Nasional menjadi 51% dari seluruh saham yang diterbitkan PT Freeport Indonesia Company; 

Terkait dengan hal ini  PT Freeport  Indonesia Company berusaha untuk dapat menikmati ketentuan Pelonggaran Divestasi yang diberikan di Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1994 tersebut, dengan demikian PT Freeport Indonesia Company pada saat itu, mencoba mengusulkan agar konsep Lex Spesilais Derogat Lex Generalis “tidak diperlakukan” terhadap Kontrak Karya  PT Freeport, disebabkan PT Freeport ingin menikmati Kelonggaran Kewajiban Diverstasi yuang diberikan oleh Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1994. 

Berdasarkan uraian Analisa Hukum diatas dimana Penulis menggunakan isi ketentuan Dasar Hukum Kontrak Karya yang memang telah disetujui dan ditandatangani oleh PT Freeport Indonesia maupun Pemerintah RI, maka Penulis dapat memahami  Opini dari Hikmanto Yuwana sebagaimana dimuat dalam Harian Kompas, hari Sabtu tanggal 8 Februari 2014 – Bagian Opini judul Freeport dan Newmont – halaman 7  maupun yang tertuang dalam Blog FREEPORT DAN NEWMONT(HIKMANTO YUWANA) GURU BESAR UI 

namun dengan Catatan Penulis bahwa nampaknya  PT Freeport Indonesia melalui Affiliasinya PT Smelting, Gresik Smelter telah melaksanakan kewajiban Pembuatan Fasilitas Pengolahan Bahan Galian dari Grasberg  di Papua, namun kemungkinan tujuannnya adalah lebih untuk memenuhi kebutuhan Hasil Olahan kepada Petrokimia Gresik, suatu Perusahaan Fertilizer dari Pemerintah yang menggunakan semua smelter sulfuric acid sebagaimana terurai diatas.

Adapun yang perlu kita amati apakah Perusahaan Smelter yang 25% sahamnya dimiliki oleh PT Freeport Indonesia adalah dalam rangka Pelaksanaan PT Freeport untuk membangun Fasilitas Pengolahan dan Pemurnian Konsentrat Tembaga sebagaimana disepakati oleh PT Freeport Indonesia dan Pemerintah RI dalam Pasal 10 Ayat 5 dari Kontrak Karya diatas; 

Kalau ketentuan Kebijakan dari Peraturan Menteri Keuangan No. 6 tersebut diatas, nampaknya adalah  pengenaan Bea Keluar lebih tinggi atau Progresif sampai 2017 yang dimaksudkan oleh Pemerintah atau Menteri Keuangan untuk memberikan “Semacam Tekanan” kepada Investor Tambang untuk mempercepat pembuatan Fasilitas Pengolahan dan Pemurnian atas Bahan Tambang yang ditentukan Batasannya Minumum wajib diolah dan dimurnikan didalam Negeri. 

Demikian tulisan  Penulis AGUNG DI MINYAK

Jakarta, 10 Februari 2014  direvisi 11 Februari 2014 direvisi 6 Juli 2014

Agung Supomo Suleiman

 SACO LAW FIRM Suleiman Agung & Co) 

8 Februari 2014

NUANSA YANG MELINGKUPI KONTRAK KARYA PERTAMBANGAN BERBEDA JAUH TAHUN 2014 DAN TAHUN 1967 di Indonesia

NUANSA YANG MELINGKUPI KONTRAK KARYA PERTAMBANGAN BERBEDA JAUH TAHUN 2014 DAN TAHUN 1967 di Indonesia yaitu 44 Tahun semenjak Penaman Modal Asing pertama kali di Undang Masuk ke Indonesia sudah jauh berbeda.

  • Pemerintah Indonesia harus lebih cakap didalam menyikapi tanggapan atau reaksi dari Investor Asing terkait  Kebijakan Pemerintah untuk “dapat lebih memperoleh keuntungan dan manfaat dari Nilai Tambah Bahan Galian yang di Explorasi, Exploitasi, Produksi maupun boleh dibawa keluar dari Batas Wilayah Teritory Indonesia; 

Keadaan Perekonomian di Indonesia sudah “Tidak dalam keadaan kesulitan ekonomi dan keuangan apalagi Kebangkrutan” seperti yang dialami bangsa Indonesia 44 Tahun Yang Lalu yaitu tahun 1967, dimana Kontrak Karya Pertambangan Pertama dibuat dan ditandatangani antara Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Pertambangan RI dan  Freeport Indonesia, Incorporated  pada tanggal 7 April 1967, dimana disebutkan bahwa semua Kekayaan Mineral (all mineral Resources) yang terletak di Wilayah Teritory Irian Barat adalah merupakan bagian dari Wilayah Republik Indonesia dan semua Mineral Resources adalah asset nasional dibawah Kontrol Pemerintah Indonesia.Undang-Undang Penaman Modal No.1/Tahun 1967  dimana Undang-undang Penanaman Modal ini lahir dari Amanah Putusan MPRS tahun 1996 No.XXIII/MPRS/1996 terkait dengan dibutuhkannya untuk segera dikeluarkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing pada saat itu,  mengingat keadaan krisis ekonomi  malah mendekati kebangkrutan sebagaiman tertera dalam isi Putusan MPRS tahun 1996 No.XXIII/MPRS /1996, dimana disebutkan bahwa “Modal Dalam Negeri masih terbatas” sehingga sangat mendesak untuk dibuatkan Payung Hukum Undang Undang Penaman Modal Asing yang melahirkan Undang-Undang Penaman Modal No.1/Tahun 1967 tersebut;

  • Disebutkan dalam Contract Of Work tersebut dalam  bagian Witnessethnya bahwa :

Erstberg telah diexplore, dipetakan dan sampled oleh Freeport Sulfur Company pada tahAGUNGSS AT MINING SITEun 1960 sesuai dengan Izin Explorasi yang telah diberikan  Pemerintah Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Bahwa Republic Indonesia : desires to advance the economic development of the people of the Territory, and to that end desires to encourage and promote the further exploration of the Ertsberg, and, if, an ore deposit of commercial grade and quantity to exist there, to take all appropriate measures, consistent with the needs of the people of the Territory and the requirements of the Republic of Indonesia, to facilitate the development of such ore deposit and the operation of a mining enterprise in connection therewith.

  • Disebutkan juga bahwa FI has or has access to the information, knowledge, technical ability and resources to undertake such further exploration development and operation and is ready, willing and able to do so on sesuai dengan ketentuan yang akan disebut dalam Perjanjian COW ini.

Disebabkan Freeport Sulfur Company telah menyelesaikan investigasi awal dari Erstberg, maka FI akan melakukan program explorasi, development, construction dan operasi yang dibagi dalam 3 Tahapan yaitu Periode Explorasi, Periode Konstruksi dan Periode Operasi. Juga disebutkan dalam pertimbangan bagian depan Witnesseth dalam Perjanjian COW,  bahwa Pemerintah Indonesia sudah mengeluarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tertanggal January 10,1967 terkait dengan Penaman Modal Asing dan Perjanjian COW ini dilakukan sesuai dengan Undang-Undang tersebut.

  • Kita mengetahui bahwa Undang  Undang No 1 Tahun 1967 dikeluarkan sebagai implementasi dari salah satu Butir di Ketetapan MPRS tahun 1996 No.XXIII/MPRS/1996 terkait dengan dibutuhkannya untuk segera dikeluarkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing pada saat itu,  mengingat “keadaan krisis ekonomi  pada tahun 1967 malah mendekati kebangkrutan sebagaiman tertera dalam isi Putusan MPRS tahun 1996 No.XXIII/MPRS /1996, dimana disebutkan bahwa “Modal Dalam Negeri masih terbatas” sehingga sangat mendesak untuk dibuatkan Payung Hukum Undang Undang Penaman Modal Asing yang melahirkan Undang-Undang Penaman Modal No.1/Tahun 1967 tersebut;    

Begitulah suasana dan NUANSA dan pertimbangan dibuat dan ditandatanganinya Kontrak Karya Generasi pertama tersebut di Indonesia tahun 1967.

Kini sudah banyak Para Ahli Indonesia dalam Managemen, Reservoir Engineering, Geologis Indonesia, Teknik Pertambangan, Perbankan, Keuangan, Ahli Hukum, Lingkungan, Asuransi, Logistik, Pajak dibidang Pertambangan Umum termasuk “Penanaman Modal Dalam Negeri sudah tidak lagi terbatas” khususnya untuk melanjutkan Amanah Pasal 33 ( 3) dari Undang -Undang Dasar 1945 untuk mensejahterakan Rakyat Indonesia dimana  Pemerintah atas nama Negara selaku penerima Kuasa Pertambangan Umum  melakukan Kegiatan Pertambangan Umum di Wilayah Teritory Pertambangan di Indonesia dengan mengadakan Perjanjian Kontrak Karya dengan Para Investor Tambang baik Asing maupun Dalam Negeri.  IMBung Karno Sihanok

Maka dengan  telah dikeluarkannya  ketentuan  Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2014 yang “kewajiban Pemegang Kontrak Karya  untuk melakukan Pemurnian Dalam Negeri” dimana Pemegang Kontrak Karya yang melakukan kegiatan penambangan mineral logam dan telah melakukan pemurnian dapat melakukan Penjualan ke Luar Negeri dalam Jumlah tertentu dimana ketentuan Batasan Minimum Penglohan dan Pemurnian akan diatur dengan Peraturan Menteri,

Kebikan ini merupakan langkah yang tepat dari Pemerintah, dan menunjukkan “Kekuatan dan Kemauan Politik Pemerintah” untuk mewjajibkan Investor Asing untuk membuat Pengelohan atas Bahan Galian di Wilayah Indonesia, sehingga dilarang bagi Pelaku Tambang untuk Langsung Mengekspor Bahan Galian Tambang dalam keadaan Belum Diolah di Indonesia untuk batasan tertentu yang akan ditentukan oleh Peraturan Menteri ESDM.

  • Menurut Pengamatan Penulis sebenarnya Investor Asing didalam Kontrak Karya “sudah sangat mengetahui” bahwa Pemerintah  menghendaki “pada suatu saat”   Investor Pertambangan diwajibkan untuk membuat “Smelter” atau “Tempat pengolahan Bahan Galian Tambang untuk dilakukan di  Indonesia”,  sehingga “bukanlah” merupakan suatu Hal Yang Mengagetkan Investor Asing jika pada saat ini Pemerintah Mengeluarkan “Peraturan dan  Kebijakan” untuk Memaksa Investor Tambang maupun Investor yang memang Ahli dalam melakukan Pengolahan Bahan Galian   untuk Mengolah BAHAN GALIAN tersebut guna dapat memberikan “Nilai Tambah” dari Hasil Bahan Galian dilakukan di Indonesia oleh Para Investor Tambang maupun Investor Pengolahan Tambang,   demi memberikan Nilai Tambah kepada Kesejahteraan Rakyat Indonesia  sesuai dengan amanah dari ketentuan Pasal 33 (3) Undang-undang Dasar 1945.
  • Dalam Pasal 10 ayat 5 Periode Operasi dari Kontrak Karya yang ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia Company tertanggal 30 Desember 1991 (Kontrak Karya Generasi V) ditentukan :
    • Perusahaan (dalam hal ini PT Freeport Indonesia) menyadari Kebjaksanaan Pemerintah untuk mendorong pengolahan di dalam negeri semua kekayaan alamnya menjadi produk akhir apabila layak. Perusahaan juga menyadari  keinginan Pemerintah agar Pabrik Peleburan dan Pemurnian Tembaga didirikan di Indonesia dan setuju bahwa Perusahaan akan menyediakan Konsentrat Tembaga yang dihasilkan dari Wilayah Kontrak untuk Pabrik Peleburan dan Pemurnian yang didirikan di Indonesia tersebut dengan ketentuan dibawah ini  : 
      • Selama suatu Jangka Waktu dimana fasilitas-fasilitas peleburan dan pemurnian untuk suatu produk tambang dari Perusahaan belum dibangun di Indonesia oleh atau atas nama Perusahaan, atau setiap subsidiari yang seluriuhnya dimiliki Perusahaan, akan tetapi sudah dibangun di Indonesia oleh Badan lain, Persusahaan “HARUS” apabila diminta oleh Pemerintah menjual produk-produk Tambang tersebut kepada Badan Lain dimaksud dengan Harga dan Kondisi yang tidak kurang menguntungkan bagi badan tersebut dibanding yang dapat diperoleh Perusahaan dari pembeli-pembeli lain untuk jumlah dan mutu yang sama dan pada waktu yang sama serta tempat dan waktu penyerahan yang sama, dengan ketentuan bahwa kondisi kontrak masing-masing dan kondisi-kondisi yang diberikan oleh Perusahaan kepada Badan Lain tersebut tidak akan kurang menguntungkan bagi Perusahaan.
      • Lebih Lanjut juga ada ketentuan bahwa Apabila dalam waktu 5(lima) tahun sejak ditandatnganinya Persetujuan ini, Fasilitas Peleburan dan Pemurnian Tembaga yang berlokasi di Indonesia “Belum Dibangun” atau tidak dalam proses untuk dibangun oleh Badan Lain, maka, tunduk kepada penilaian bersama oleh Pemerintah dan Perusahaan atas kelayakan ekonomi suatu Pabrik Peleburan dan Pemurnian, Perusahaan “HARUS” melakukan atau menyebabkan dilakukannya pendirian Pabrik Pengolahan dan Pemurnian Tembaga di Indonesia sesuai dengan Kebijaksanaan Pemerintah. Berdasarkan salah satu contoh Pasal Ketentuan mengenai Pembangunan Pengolahan dan Pemurnian Tembaga tersebut diatas, maka sebenarnya Investor Pertambangan di Indonesia “SANGAT MENGETAHUI” adanya kebijaksanaan PEMRINTAH tersebut sehingga sudah Saatnya PEMERINTAH Indonesia  berani membuat Kebijakan Politik Yang Lebih Mengungtungkan Kepastian Pemberian Jaminan kesejahteraan kepada Masyarakat Indonesia sesuai dengan Pasal 33 (3) Undang-Undang Dasar Indonesia, karena memang “KEDUDUDUKAN DAN KEKUATAN PEMERINTAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA beserta semua Profesional AHlinya dalam Bidang Pertambangan serta Pengusaha Indonesia dalam Pertambangan Di Indonesia  kesiapannya sudah harus “Jauh Berbeda dengan keadaa pada Tahun 1967 atau 44 Tahun yang lalu.
  • Tentunya kiat dan strategy yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia  dari suatu Negara Berdaulat seperti Indonesia, menjelang Pemilu Tahun 2014, adalah    memberikan “Tekanan” kepada Para Investor Asing untuk secara sungguh-sunguh melakukan Ketentuan ini, melalui Instrumen Hukum lain, misalnya mengenakan sanksi konkrit dan nyata secara komersial terhadap Investor yang melanggar ketentuan Larangan Export Bahan Galian yang belum sama sekali diolah di Wilayah Indonesia dalam batas waktu sampai tahun 1917 termasuk telah dikeluarkannya Peraturan  Menteri  Keuangan No.6/PMK/011/2014 yang merupakan rangkaian kebijakan Pemerintah untuk “mengenakan Bea Keluar Atas Bahan Tambang yang lebih tinggi” apabila pengolahan dan pemurnian Hasil Penambangan dari Bahan galian Tambang ini  belum sampai tingkat yang diharapkan.

Dapat pula kita amati adanya Pasal 11 Ayat 2 dari Perjanjian Kontrak Karya antara PT Freeport Indonesian Company dan Pemerintah Indonesia tanggal 30 Desember tahun 1991 dimana ditentukan bahwa:

“Pemerintah mempunyai hak atas dasar yang berlaku umum dan tidak mendiskriminasi terhadap Perusahaan(PT Freeport Indonesia Company) untuk “Melarang Penjualan atau Ekspor mineral-mineral atau Produk apabila penjualan atau ekspor tersebut akan “Bertentangan  dengan kewajiban-kewajiban International dari Pemerintah atau menurut pertimbangan politik luar negeri akan mempengaruhi “kepentingan Nasional Indonesia” .

Sebagaimana kita ketahui kini Tahun 2014, dimana “Rakyat Indonesia”   melalui Demokrasi Politik berhak dan dapat bersuara karena Rakyat Indonesia sudah banyak yang Cerdas, Pintar Sadar akan “Hak Mereka”  untuk menentukan dan mengawasi “Tindakan Pemerintah Maupun DPR”  terkait Langkah Tindakan mana yang Benar-benar”  mewakili kepentingan men-sejahterakan Rakyat Indonesia, termasuk Hak Rakyat untuk  Mengawasi Kegiatan Pertambangan Umum oleh Investor yang dilaksanakan melalui ketentuan dalam Kontrak Karya, Kuasa Pertambangan, Idzin Pertambangan dan kini IUP berdasarkan Undang-Undang Minerba No.4 Tahun 2009 agar Negara Indonesia tidak hanya Sekedar Mengekspor Bahan Galian yang belum Diolah, melainkan Bahan Galian tersebut harus telah Diolah oleh Investor Pertambangan sebelum di Ekspor  untuk mendapatkan Nilai Tambah Atas Pengolahan Bahan Galian Pertambangan  guna dapat meberikan ksejahteraan bagi  Rakyat Indonesia.

  • Penulis sebagai Business Lawyer  yang  memang sudah lama berkecimpung dan mengamati serta berpraktek sebagai Business Lawyer Perminyakan dan Pertambangan menyadari benar bahwa Kontrak Karya sebagai implementasi dari ketentuan Peraturan Perundangan Pertambangan di Indonesia haruslah memberikan landasan “Mensejahterakan Masyarakat Indonesia” dan Konteks serta Nuansa pada Tahun 2014 sudah Sangat Berbeda Jauh dengan  Nuansa tahun 1967.
  • Penulis sangat mengetahui bahwa Investor didunia Pertambangan selalu hendak memakai alasan bahwa Kontrak Karya merupakan “Lex Spesialis Derogat Generalis”, namun pada saat Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 1994 mengenai Pelonggaran Kewajiban Divestasi  bagi Investor Asing dapat  tetap 95% bagian Investor Asing dan 5 % Investor Lokal, Penulis yang pada saat itu Inhouse Legal Cpounsel dari PT Freeport Indonesia telah diminta untuk  berdiskusi dengan Anggota DPR, agar PT FI yang telah terikat dan mendatangani Kontrak Karya dengan kenetuan Divestasi dalam 10-15 Tahun mendivestasi Kememilikan Saham Asing dari mayoritas menjadi 49% Pemegang Saham Asing dan 51% Pemegang Saham Nasional,  dapat menikmati  Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1994 tersebut.  

Dengan demikian Ketentuan dari Peraturan Menkeu Nomor 6 /PMK.O11 /2014 yang merupakan rangkaian dari PP No.1/2012  sudah merupakan Hak dan Wewenang dari Pemerintah yang harus berlaku dan dipatuhi oleh Investor Asing, apalagi kewajiban Pembuatan Pengolahan dan Pemurnian dari Bahan Galian dalam Kontrak Karya maupun Hak Pemerintah untuk Melarang Ekspor Baha Galian yang masih belum di Olah  demi Kepentingan Nasional Indonesia juga telah disepakati oleh PT Freeport Indonesia dala Pasal-Pasal yang terurai diatas. 

Sekian Tulisan dan Paparan Penulis  untuk pagi ini karena sudah ada Adzan Subuh di Mesjid Kompleks Depleu Cipete.AGUNG DI MINYAK

Buat Blog di WordPress.com.

GLOBAL INDONESIA DAILY

MENANGKAP FENOMENA PERISTIWA DUNIA DAN INDONESIA

Mollyta Mochtar

Travel and Lifestyle Blogger Medan

The Signs

Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan?’ (adz-Dzariyat: 20)