Penulis telah menulis NUANSA YANG MELINGKUPI KONTRAK KARYA PERTAMBANGAN BERBEDA JAUH TAHUN 2014 DAN TAHUN 1967 di Indonesiayaitu 44 Tahun semenjak Penaman Modal Asing pertama kali di Undang Masuk ke Indonesiasudah jauh berbeda, dimana menurut Penulis PT Freeport Indonesia secara Hukum Kontraktual adalah “TERIKAT” dan sudah selayaknya “Patuh dan Menghormati” Kebijaksaan Pemerintah RI terkait Pengolahan PRODUK HASIL GALIAN TEMBAGA dalam Negeri, sesuai dengan ketentuan dan kondisi yang telah disepakati baik oleh Pemerintah dan PT Freeport Indonesia dalam Kontrak Karya tertanggal 30 Desember 1991 khususnya Pasal 10 Ayat 5 yang menentukan bahwa
-
Perusahaan (dalam hal ini PT Freeport Indonesia) menyadari Kebjaksanaan Pemerintah untuk mendorong pengolahan di dalam negeri semua kekayaan alamnya menjadi produk akhir apabila layak.
-
Perusahaan juga menyadari keinginan Pemerintah agar Fasiltas Peleburan (Pengolahan) dan Pemurnian Tembaga didirikan di Indonesia dan setuju bahwa Perusahaan akan menyediakan Konsentrat Tembaga yang dihasilkan dari Wilayah Kontrak untuk Fasiltas Peleburan (Pengolahan) dan Pemurnian yang didirikan di Indonesia tersebut dengan ketentuan dibawah ini :
Selama suatu Jangka Waktu dimana fasilitas-fasilitas peleburan dan pemurnian untuk suatu produk tambang dari Perusahaan belum dibangun di Indonesia oleh atau atas nama Perusahaan, atau setiap subsidiari yang seluruhnya dimiliki Perusahaan, akan tetapi sudah dibangun di Indonesia oleh Badan lain, Perusahaan ( PT Freeport Indonesia “HARUS” apabila “diminta oleh Pemerintah” menjual produk-produk Tambang tersebut kepada Badan Lain dimaksud dengan :
-
“Harga dan Kondisi” yang tidak kurang menguntungkan bagi badan tersebut dibanding yang dapat diperoleh Perusahaan dari pembeli-pembeli lain
-
untuk jumlah dan mutu yang sama dan
-
pada waktu yang sama
-
serta tempat dan waktu penyerahan yang sama,
-
dengan ketentuan bahwa kondisi kontrak masing-masing dan kondisi-kondisi yang diberikan oleh Perusahaan kepada Badan Lain tersebut tidak akan kurang menguntungkan bagi Perusahaan.
Lebih Lanjut juga ada ketentuan bahwa Apabila dalam waktu 5(lima) tahun sejak ditandatanganinya Persetujuan (Kontrak Karya) ini, Fasilitas Peleburan (Pengolahan) dan Pemurnian Tembaga yang berlokasi di Indonesia “Belum Dibangun” atau tidak dalam proses untuk dibangun oleh Badan Lain,
–> maka, tunduk kepada penilaian bersama oleh Pemerintah dan Perusahaan atas kelayakan ekonomi suatu Pabrik Peleburan dan Pemurnian,
Perusahaan”HARUS” melakukan atau menyebabkan dilakukannya pendirian Fasilitas Pengolahan dan Pemurnian Tembaga di Indonesia sesuai dengan Kebijaksanaan Pemerintah.
- Berdasarkan ketentuan diatas dalam Perjanjian Kontrak Karya yang telah ditandatangani dan disetujui bersama oleh kedua belah pihak yaitu PT Freeport Indonesia dan Pemerintah RI mengenai Pembangunan Peleburan (Pengolahan) dan Pemurnian Tembaga tersebut diatas, maka PT Freeport Indonesia menuru Penulis secara Hukum Kontraktual adalah “SANGAT MENGETAHUI” adanya kebijaksanaan PEMERINTAH yang menghendaki agar :
-
Dibangunnya Fasilitas Peleburan (Pengolahan) dan Pemurnian atas Produk Bahan Galian Tambang di Indonesia, maupun
-
keharusan PT Freeport Indonesia untuk menjual Hasil Bahan Galian yang ditambang dari Wilayah Tambang di Irian Barat atau Papua sesuai dengan Batas Wilayah yang tersebut dalam Kontrak Karya diatas, sesuai dengan permintaan dari Pemerintah.
Dengan demikian terkait dengan Opini dari Hikmanto Juwana di Koran Kompas hari Sabtu tanggal 8 Februari 2014 dibagian Opini halaman 7 dengan Judul Freeport dan Newmont, yang di dunia Maya internet juga dapat kita temukan pada Blog FREEPORT DAN NEWMONT (HIKMANTO YUWANA) GURU BESAR UI dimana terindikasi bahwa CEO Freeport -McMoran Copper & Gold. Inc. Richard C.Adkerson telah terbang dari New York ke Jakarta menemui sejumlah Menteri terkait kebijakan Bea Keluar yang dikenakan Pemerintah RI melalui Permenkeu No. 6/ PMK.011/2014 (“PMK 6”), dimana Freeport maupun Newmont menyatakan keberatan dengan dikenakan Bea Keluar oleh Pemerintah yang tinggi apabila pengolahan belum sampai ketingkat yang diharapkan dengan ancaman akan membawa Pemerintah ke Arbitrasi Internasional, menurut hemat Penulis Rasa Keberatan dari Freeport atas Kebijaksanaan Perintah RI – Menteri Keuangan PMK 6 , perlu kita amati dari Aspek Hukum Kontrak Karya terkait kewajiban Pengolahan dan Pemurnian Mineral Dalam Negeri mengingat secara Hukum Perjanjian, PT Freeport Indonesia, sesuai dengan Ketentuan Pasal 10 ayat 5 dari Kontrak Karya tersebut diatas, telah setuju dan terikat untuk :
a) Membuat Fasiltas Peleburan (Pengolahan) dan Pemurnian atas Bahan Galian Tambang Tembaga di wilayah Indonesia, maupun
b) Keharusan PT Freeport Indonesia atas permintaan Pemerintah untuk menjual Bahan Galian Tambang Tembaga tersebut kepada Badan yang membuat Peleburan(Pengolahan) dan Pemurnian tersebut.
Selanjutnya sesuai dengan pengamatan Penulis, pada Pasal 11 Ayat 2 dari Perjanjian Kontrak Karya antara PT Freeport Indonesian dan Pemerintah Indonesia tanggal 30 Desember tahun 1991 tersebut diatas, PT Freeport Indonesia juga telah menyetujui dan terikat pada ketentuan bahwa:
-
“Pemerintah mempunyai hak atas dasar yang berlaku umum dan tidak mendiskriminasi terhadap Perusahaan(PT Freeport Indonesia Company) untuk “Melarang Penjualan atau Ekspor mineral-mineral atau Produk apabila penjualan atau ekspor tersebut akan “Bertentangan dengan kewajiban-kewajiban International dari Pemerintah atau menurut pertimbangan politik luar negeri akan mempengaruhi “kepentingan Nasional Indonesia” .
-
Penulis juga mengetahui sewaktu Penulis bekerja sebagai Inhouse di PT Freeport Indonesia, bahwa PT Freeport Indonesia melalui affiliasinya yaitu PT Smelting, Gresik Smelter telah membuat Fasilitas Peleburan (Pengolahan) atau Smelter di Surabaya, namun Penulis maupun kita masih perlu mengamati lebih lanjut berapa bagian dari Hasil Produk Tambang Galian PT Freeport Indonesia yang dilebur atau diolah di PT Smelting, Gresik Smelter di Surabaya tersebut dan berapa bagian dari Bahan Galian tambang dari PT Freeport Indonesia yang diolah diluar Wilayah Indonesia, mengingat pertanyaan mendasar “Mengapa Freeport keberatan dengan ketentuan PMK 6 diatas sebagaimana diindikasikan dalam Opini Hikmanto Yuwana tersebut diatas.
- Dari data Internet websitenya PT Smelting, Gresik Smelter Penulis mendapatkan data sebagai Berikut:
-
berikut ini dari Website PT Smelting, Gresik Smelter :
-
QUOTE – BAGIAN Yang Di Cut Paste dari Website :
http://www.mmc.co.jp/sren/Gresik.htm
PT Smelting (PTS)’s Gresik Copper Smelter and Refinery is located 30 kilometers north of the city of Surabaya, East Java major port. PTS equity partners are Mitsubishi Materials with 60.5%, PT. Freeport Indonesia with 25%, Mitsubishi Corporation with 9.5%, and Nippon Mining and Metals Co. Ltd. with 5.0%.
The entire smelter feedstock comes by ship from Freeport Grasberg mine on West Papua, some 2,600 kilometers to the East.
The smelter is adjacent to Petrokimia Gresik, a government owned fertilizer company, which utilizes all of the smelter sulfuric acid.
This was a prime reason for selecting the Gresik location.
UNQUOTE – Selesai Bagian yang di Cut Paste dari Website PT Smelting Gresik,Smelter
Berdasarkan data diatas terindikasi bahwa PT Freeport Indonesia melalui Affiliasinya PT Smelting, Gresik Smelter
dimana PT Freeport Indonesia memiliki Saham sebesar 25% di perusahaan PT Smelting, Gresik Smelter telah membuat Fasilitas Pengolahan ( Smelter) sebagaimana terurai dari Data Website diatas.
Bahwa Pemerintah pada Tahun 2014 ini, telah membuat Kebijaksanaan dan Ketentuan melalui
-
Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2014 yang mengadakan perubahan atas Ketentuan Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2010 sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan batubara, diubah antara Pasal 112B dan Pasal 113 disisipkan 1(satu) Pasal yakni Pasal 112C sehingga
-
Intisarinya KEWAJIBAN Pengolahan dan Pemurnian Dalam Negeri :
-
terkait Kontrak Karya :
-
angka 1) Pemegang Kontrak Karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara wajib melakukan permurnian hasil pertambangan didalam Negeri.
-
angka 3) Pemegang Kontrak Karya sebagaimana dimaksud dalam angka 1 diatas yang melakukan kegiatan pemurnian dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam Jumlah tertentu.
- Ketentuan Lebih lanjut mengenai Pelaksanaan Pengolahan dan Pemurnian serta Batasan Minimum Pengolahan dan Pemurnian diatur dengan Peraturan Menteri.
-
melalui PMK 6 Kebijaksanaan dan Ketentuan pengenaan Bea Keluar yang tinggi bagi yang mengekspor Bahan Galian yang belum diolah hingga Tahun 2017 sebagai Batas Waktu dibuatnya Peleburan(Pengolahan) dan Pemurnian Bahan Galian Tambang di Wilayah Tambang Indonesia
-
merupakan Kebijaksanaan Pemerintah untuk “Kepentingan Nasional” dalam rangka menjamin terciptanya Kepastian Hukum didalam memberikan “Nilai Tambah” atas Hasil Tambang kepada Kesejateraan Masyarakat Indonesia sebagai amanah pelaksanaan Pasal 33 (3) Undang-Undang Dasar 1945.
-
Maka sudah Saatnya PEMERINTAH Indonesia Benar-benar Harus Mempunyai Kemauan Politik dan Landasan PAYUNG Hukum yang kuat untuk membuat Landasan Payung yang jelas dalam mempertahankan Kebijasanaan yang telah dibuat tersebut, guna dapat lebih memberikan “Kepastian Pemberian Jaminan kesejahteraan kepada Masyarakat Indonesia” yang berjumlah 240 Juta, sesuai dengan Pasal 33 (3) Undang-Undang Dasar Indonesia, karena memang “KEDUDUDUKAN DAN KEKUATAN PEMERINTAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA beserta semua Profesional AHlinya dalam Bidang Pertambangan serta Pengusaha Indonesia dalam Pertambangan Di Indonesia kesiapannya sudah “Jauh Berbeda dengan keadaan pada Tahun 1967 atau 44 Tahun yang lalu, meskipun tentunya ada aspek external terkait keuangan Global maupun Domestik .
-
Sebagaimana kita ketahui PT Freeport maupun Perusahaan Tambang Asing, senantiasa akan mendalilkan bahwa “Kontrak Karya” yang telah ditandatangani Pemerintah melalui Menteri Pertambangan dan Energi, dan telah dikonsultasikan dengan DPR atau MPR, akan berusaha mendalilkan bahwa Kontrak Karya berlaku Lex Spesialis Derogat Lex Generalis terhadap Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1914 maupun PMK 6 tersebut atau Kontrak Karya adalah Peraturan Khusus yang Mengesampingkan Peraturan Umum.
-
Penulis mengetahui bahwa sewaktu Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1994 mengenai ketentuan umum adanya Pelonggaran Kewajiban Divestasi – Pemegang Saham Asing dimana Pemegang Asing diperusahaan umum akan tetap dapat mempertahankan Mayoritas 95% Saham dan yang diwajibkan di- Divestasi hanyalah 5% saja menjadi Pemegang Saham Nasional atau Lokal, maka PT Freeport Indonesia Company berkeinginan untuk menikmati perlonggaran Divestasi tersebut.
-
Kita mengetahui bahwa dalam Kontrak Karya PT Freeport Indonesia Company dan Pemerintah Indonesia tertanggal 30 Desember 1991, pada Pasal 24 ayat 2 butir b …
-
ditentukan Perusahaan “diharuskan” menjual atau berusaha menjual pada penawaran umum di Bursa Effek Jakarta, atau dengan cara lain kepada Pihak Nasional Indonesia dengan saham-saham yang cukup untuk jumlah yaitu 51% (lima puluh satu persen) dari modal saham Perusahaan yang diterbitkan, tidak lebih lambat dari ulang tahun ke 20(duapuluh) tanggal ditandatanganinya Persetujuan (Perjanjian Kontrak Karya ini), sampai mencapai yang dikendekai oleh Pemerintah sesuai dengan Peraturan Perundangan yang berlaku …..
Oleh karenanya kita melihat bahwa sesuai ketentuan Divestasi diatas maka 20 Tahun setelah 30 Desember 1991 yaitu 30 Desember 2006 – Saham Pemodal Asing Harus ter- divestasi menjadi 49% dari seluruh saham yang diterbitkan oleh PT Freeport Indonesia Company dan Pemegang Shama Nasional menjadi 51% dari seluruh saham yang diterbitkan PT Freeport Indonesia Company;
-
Terkait dengan hal ini PT Freeport Indonesia Company berusaha untuk dapat menikmati ketentuan Pelonggaran Divestasi yang diberikan di Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1994 tersebut, dengan demikian PT Freeport Indonesia Company pada saat itu, mencoba mengusulkan agar konsep Lex Spesilais Derogat Lex Generalis “tidak diperlakukan” terhadap Kontrak Karya PT Freeport, disebabkan PT Freeport ingin menikmati Kelonggaran Kewajiban Diverstasi yuang diberikan oleh Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1994.
Berdasarkan uraian Analisa Hukum diatas dimana Penulis menggunakan isi ketentuan Dasar Hukum Kontrak Karya yang memang telah disetujui dan ditandatangani oleh PT Freeport Indonesia maupun Pemerintah RI, maka Penulis dapat memahami Opini dari Hikmanto Yuwana sebagaimana dimuat dalam Harian Kompas, hari Sabtu tanggal 8 Februari 2014 – Bagian Opini judul Freeport dan Newmont – halaman 7 maupun yang tertuang dalam Blog FREEPORT DAN NEWMONT(HIKMANTO YUWANA) GURU BESAR UI
namun dengan Catatan Penulis bahwa nampaknya PT Freeport Indonesia melalui Affiliasinya PT Smelting, Gresik Smelter telah melaksanakan kewajiban Pembuatan Fasilitas Pengolahan Bahan Galian dari Grasberg di Papua, namun kemungkinan tujuannnya adalah lebih untuk memenuhi kebutuhan Hasil Olahan kepada Petrokimia Gresik, suatu Perusahaan Fertilizer dari Pemerintah yang menggunakan semua smelter sulfuric acid sebagaimana terurai diatas.
Adapun yang perlu kita amati apakah Perusahaan Smelter yang 25% sahamnya dimiliki oleh PT Freeport Indonesia adalah dalam rangka Pelaksanaan PT Freeport untuk membangun Fasilitas Pengolahan dan Pemurnian Konsentrat Tembaga sebagaimana disepakati oleh PT Freeport Indonesia dan Pemerintah RI dalam Pasal 10 Ayat 5 dari Kontrak Karya diatas;
Kalau ketentuan Kebijakan dari Peraturan Menteri Keuangan No. 6 tersebut diatas, nampaknya adalah pengenaan Bea Keluar lebih tinggi atau Progresif sampai 2017 yang dimaksudkan oleh Pemerintah atau Menteri Keuangan untuk memberikan “Semacam Tekanan” kepada Investor Tambang untuk mempercepat pembuatan Fasilitas Pengolahan dan Pemurnian atas Bahan Tambang yang ditentukan Batasannya Minumum wajib diolah dan dimurnikan didalam Negeri.
Demikian tulisan Penulis
Jakarta, 10 Februari 2014 direvisi 11 Februari 2014 direvisi 6 Juli 2014
Agung Supomo Suleiman
SACO LAW FIRM Suleiman Agung & Co)