Snapshot Geo Politik – Artikel Hukum Bisnis OilGasMine – Energi- AGUNGSS

27 Desember 2018

“Momentum”  Realisasi Terwujud Divestasi 51% PT FI

Mengingat Penulis dahulu  pernah   bertugas  sebagai  In – House Legal Counsel di       PT Freeport Indonesia, selama 5 (Lima) Tahun dimana  tugas  Penulis adalah  membantu  mengkoordinasi Perjanjian Sindycation Loan yang dibutuhkan oleh      PT Freeport untuk melaksanakan kegiatan Operasi Pertambangan Umum berskala besar dimana,  Pinjaman dari Sindycation Loan Bank berkisar sekitar USD 450 jutaan hingga USD 500 jutaan;20200218_100151

Terkait hal diatas,  disebabkan Pemerintah mempunyai saham 10 %, maka  dibutuhkan adanya persetujuan Tim 9 dari Pihak Pemerintah yang terdiri dari berbagai Lintas Departmental terkait antara lain  Keuangan, ESDM,  mengingat ada beban Pemerintah senilai 10% dalam pengembalian Pembayaran Hutang tersebut.

Pada saat Penulis, baru  mulai bekerja di PT Freeport, yaitu sekitar tahun 1993, di PT Freeport sedang dilakukan “Program Privatization” atas “semua Infrastruktur” yang semula telah dibangun sendiri oleh PT

20200218_100234

 Freeport dari Pelabuhan Udara beserta semua Pesawat Terbangnya, untuk pengangkutan Pegawai maupun untuk Cargo, Pelabuhan Khusus untuk Kapal berikut dengan beberapa Kapalnya,  dimana Penulis terlibat mengurus pelepasan Registrasi dari Direktorat Perhubungan Laut,  mengingat menjual kapal tersebut dari aspek Hukum tentunya  dibutuhkan De – Registrasi Kapal dari Direktorat Perhubungan Laut.

Begitu juga Pasar  Raya   untuk   kebutuhan Karyawawan turut di Privatisasi, sehingga PT Freeport dapat lebih “Fokus” ke usaha Operasi Pertambangan Tembaga dan Emas, dimana Para Pembeli dari Infrasruktur tersebut mendapat pinjaman berupa  Sindycation Loan dari Sindikasi Bank, dimana Jaminannya pengembaliannya adalah “Proyek Hasil dari Produksi Tembaga dan Emas” tersebut atau “Project Finance“, yang dapat men – Generate Cash Flow, atas Jasa Services mereka kepada PT Freeport Indonesia berdasarkan Master Services Agreement antara PT Freeport Indonesia dengan Perusahan Swasta yang membeli Infarstruktur tersebut,  selain Jaminan tanah dan Gedung Bangunan dari Lapangan Terbang maupun Pelabuhan Khusus Kapal tersebut.

Hasil dari Penjualan Infrastruktir tersebut digunakan oleh PT Freeport untuk melanjutkan peningkatan kegiatan Operasi Kegiatan Pertambangan Tembaga dan Emas. Sebagai pegawai di PT Freeport Indonesia,  sesuai keahlian profesi kita masing-masing, maka kita dapat banyak belajar bagaimana cara Financing Engineering dari PT Freeport, dalam rangka berusaha bertahan dalam meningkatkan Produksinya.  Kitapun dapat belajar dan mengetahui “Budaya atau Corporate Culture” dari perusahaan yang melakukan kegiatan Operasi Penambangan dengan Magnitude sebesar itu.20200218_100213

Memang Budaya Korporasi Swasta Amerika dalam Kegiatan Pertambangan Umum di Indonesia,  beda sekali   dengan di Perusahaan Migas Swasta Amerika yang beroperasi  di Indonesia, dimana pada kegiatan Operasi Migas, perusahaan Asingnya tidak perlu membentuk suatu Badan Hukum Perseroan Terbatas,  seperti di Pertambangan Umum semisal PT Freeport Indonesia, dimana pihak Investor Nasional Indonesia, baik itu Pemerintah Indonesia, Swasta Indonesia seperti    PT Indocoper Investama Corporation, ditawarkan membeli sekitar 9% hingga  10 %  saham  yang   dikeluarkan     oleh PT Freeport,  namun  ternyata,  pihak Bakrie Group maupun Djodi Setiawan yang pernah menjadi Pemegang saham di PT Indocoper Investama,  lebih memilih mendapatkan Capital Gain dari “kenaikan Nilai Saham”  yang dikeluarkan oleh PT Freeport Indonesia, dimana tentunya FCX yang diuntungkan untuk memperbesar percentage  saham yang dikeluarkan oleh PT Freeport.

Kita ketahui PT Rio Tinto atau yang dulu dikenal sebagai PT RTZ, diajak terlibat untuk membantu Pendanaan yang dibutuhkan oleh PT Freeport untuk menaikan Tingkat Produksi per Hari, namun,  FCX “tidak menghendaki kehilangan Kendali Control” atas PT Freeport Indonesia,  sehingga PT RTZ atau PT RIO TINTO  diajak sebagai Participant Interest  atas Hak Hasil Peningkatan Produksi  yang dikehendaki oleh PT Freeport Indonesia, dengan perbandingan Porsi 40% untuk PT Rio Tinto dan 60% untuk FCX atau PT Freeport Indonesia yang sangat berbeda dengan Pembagian Dividend jika menjadi Pemegang Saham.

Hak Participant Interest atas Hasil Peningkatan  Produksi inilah yang kemudian dalam perjalanan kerjasamanya meningkat secara

20200218_100450

periodik bertahap dari USD 100 juta menjadi USD 400 Juta ditambah bunga sekitar USD 200 juta, sesuai  kebutuhan Level Peningkatan Produksi yang dikehendaki oleh FCX, dari tahun ke tahun,  sebagai Pemegang Saham Mayoritas di PT Freeport Indonesia.  dimana, Rio Tinto diberikan hak untuk mengkonversi Hak Partisipasi menjadi Saham yang dikeluarkan oleh PT Freeport Indonesia pada tahun 2022.

Kalau di dunia kegiatan Perminyakan Gas di Indonesia, Participant Interest sudah sering dilakukan antara Para Investor Minyak yang mempunyai Perjanjian Production Sharing dengan SKKMIGAS (dahulu Pertamina / BPMigas), karena memang sistemnya berbeda dimana tidak ada kewajiban dari Investor Asing Migas yang beroperasi di Indonesia untuk merubah status perusahaannya menjadi suatu PT  berbadan Hukum Indonesia, dimana kewajiban Divestasi oleh FCX adalah atas saham yang dikeluarkan oleh PT Freeport untuk secara bertahap ditawarkan kepada Pemegang Saham Nasional sesuai ketentuan Kontrak Karya.

 

Memang berbeda antara Schema kegiatan di Perminyakan Gas di Indonesia dan Pertambangan Umum di Indonesia, dimana Seluruh Biaya Operasi Migas dalam PSC akan diganti oleh Pemerintah Indonesia melalui wadah SKKMigas ( Dahulu Pertamina . BP MIgas).

Penulis mengetahui benar hal ini, mengingat Penulis Alhamdulillah, diberikan kesemptan oleh ALLAH pernah selama  5 (lima)  Tahun bekerja sebagai In – House Legal Counsel di Perusahaan Migas USA – Huffco Indonesia- Vico Indonesia, yang kini sudah menjadi bagian dari Pertamina..

Effek dari gaya Management – PT Freeport dengan Perusahaan Minyak Gas USA di Indonesia juga sangat berbeda dengan di Perusahaan Migas USA di Indonesia, karena tidak ada Cost Recovery dalam kegiatan Operasi Pertambangan Umum,  sehingga pengontrolan atas berjalannya perusahaan Swasta Asing seperti PT Freeport di Indonesia “terasa lebih dikuasai” dan di “Control oleh Head Quarter” dari Perusahaan Amerika tersebut, mengingat tidak adanya “Control Management Pengeluaran model Cost Recovery” seperti di Kegiatan  Operasi  Migas di Indonesia.

Namun dalam perkembangan kebijakan Pemerintah khususnya dalam  kegiatan Perminyakan Gas di Indonesia, kini diperlakukan Schema Gross Split dimana,  terindikasi  juga tidak ada lagi “Elemen penerapan Cost Recovery” atau pergantian Biaya Ongkos Capital Expenditure maupun Operational Expenditure oleh Pemerintah / SKKMIGAS, sehingga Pengelolaan Pengeluaran biaya Operasi diserahkan sepenuhnya kepada Perusahaan Migas tersebut untuk mengatur pengeluaran Capex dan (Capital Expenditure) dan Opex (Operation Expenditure). Hal ini terindikasi akibat Pemerintah curiga bahwa Perusahaan Migas di Indonesia “berusaha untuk mengambil keuntungan dari Cost Recovery”, padahal menurut hemat Penulis, mana ada Perusahaan yang mau  melakukan pemborosan Pengeluaran Biayanya Bisnisnya yang tentunya  bisa mengakibatkan tidak  efesiensi dan jelas mengurangi profit dari perusahaan tersebut.

Kembali kepada masalah PT Freeport Indonesia, menurut pengamatan  Penulis, pada kenyataan “keseriusan Pemerintah Indonesia” untuk mempersiapkan penerimaan Posisi sebagai “Pemegang Saham Mayoritas”  yang seharusnya  didukung dengan Rencana    Persiapan    Management dan     Teknologi     berskala magnitude sebesar   PT Freeport, nampaknya  mengalami kendala,  dengan fakta bukti bahwa Divestasi menjadi Mayoritas Pemegang Saham, yang seharusnya sudah ditagih oleh Pemerintah semenjak tahun 2011, karena “batasan Waktu Divestasi”  di   Kontrak Karya  (COW) PT Freeport  adalah   paling lambat 20 tahun secara bertahap dari 30 Desember 1991 sebagai  tanggal  Penandatangan  Pembaharuan  Kontrak  Karya  PT Freeport Indonesia.

Menurut pengamatan Penulis,  yang pernah berada didalam organisasi PT Freeport sebagai In House Legal Counsel,  nampak sekali bahwa FCX sendiri,   sebagai  Investor USA,  mempunyai “Budaya Corporate”  untuk senantiasa berusaha dengan segala cara Ingin Tetap Mempertahankan Kendali” atas Kegiatan Operasi Pertambangan Umum di PT Freeport,  dimana sebagai contoh Konkrit yang Penulis ketahui dan mengalami sendiri, adalah pada saat timbul  Peraturan Pemerintah No 20 tahun 1994, sewaktu Penulis masih bekerja sebagai In House Legal Counsel di PT Freeport Indonesia, Penulis diminta oleh Boss Penulis untuk  mendekati personel di DPR,  agar PT Freeport Indonesia dapat menikmati “relaksasi diperbolehkannya” perusahaan Asing memiliki saham hingga 100% dengan kewajiban Divestasi hanya 5% saja, sehingga mengharapkan diterapkan kepada Kontrak Karya PT Freeport .

Penulis sebagai In – House Legal Counsel di PT Freeport,   tentunya agak bengong, karena selama Penulis berada di PT Freeport, management dari PT Freeport senantiasa mengemborkan bahwa Kontrak Karya bersifat “Lex Spesialis Derogat Lex Generalis” dengan pengertian misalnya untuk Pembebanan Pajak jika ada Ketentuan Perundangan Pajak yang tarifya atau beban pajaknya lebih dari yang ditentukan dalam Kontrak Karya, maka ketentuan Kontrak Karya yang akan tetap berlaku, dengan dalih Kontrak Karya levelnya adalah seperti Undang-undang karena selain ditandatangani oleh Pemerintah sebagai Eksekutif juga telah dikonsultasikan dengan DPR ( Legislatif ) sebelum ditandatangani.

Nah, berdasarkan attitude dari PT Freeport tersebut, tentunya Penulis meragukan keseriusan FCX untuk  “melaksanaan Divestasi”,  sesuai kesepakatan Ketentuan Divestasi dalam Kontrak Karya, sehingga terlihat FCX berusaha mengulur terus kewajiban Divestasinya, karena memang disisi lain,  Pemerintah sebagai Pihak dalam Perjanjian Kontrak Karya,  tidak terlihat serius mempersiapkan dapat terwujudnya Divestasi tersebut dengan suatu “Road Map yang jelas”, namun Pemerintah Indonesia cukup puas dengan  telah   menikmati hasil Royalty 1 – 3% ( Iuran Produksi),  Tarif Iuran Explorasi, Exploitasi, PBB dan Pajak Perseroan PT Freeport, Pajak dari Sub Kotraktornya,  tanpa mempunyai atau membuat suatu  Rencana Jelas dan Konkrit, untuk menaikan kemampuan menaikan Percetage Saham di PT Freeport Indonesia, yang memang merupakan Hak dari Pemerintah sebagai Pihak dalam Konrak Karya,  yang diberikan dan disetujui oleh FCX, untuk dilaksanakannya Divestasi oleh FCX kepada Pemegang Saham Nasional (bisa Pemerintah, BUMN maupun Perusahaan Swasta Nasional) sesuai ketentuan Divestasi di  Pasal 24 Kontrak Karya  PT. Freeport Indonesia.

Kalau tenaga Management, maupun Teknis, Keuangan, serta Personnel di PT Freeport memang terjadi, namun lebih kearah agar ketrampilan mereka adalah untuk bersikap  setia kepada Management PT Freeport yang dikendalikan oleh FCX. Dengan menerima Fasilitas Perumahan yang mewah untuk pribadi sebagai Eksekutif, dirasakan memadai dan mencukupi, sedangkan usaha dari Pemerintah maupun Perusahaan BUMN maupun Swasta Nasional untuk dapat menggantikan kedudukan dari Management dan Personil dari FCX,  sama sekali tidak ada program yang Konkrit dari Pemerintah Indonesia maupun Swasta Indonesia sebagai Pemegang Nasioal  Indonesia Inc.

Nah, dengan ke “Vakuman Road Map” pemberdayaan Persiapan Managemen BUMN atau Swasta Nasional untuk bisa siap menerima Hasil Divestasi 51% dari Pelaksanaan tawaran FCX, maka pada Era Masa Pemerintahan Jokowi, terlihat adanya kesungguhan dan  keseriusan untuk menagih FCX untuk melaksanakan Divestasi ini, karena memang dalam setiap masa Pipres/ Capres, issue Divestasi dari PT Freeport Indonesia ini merupakan “Dagangan Yang Hangat” untuk memancing “Rasa Nasionalisme” kepada para Voters, untuk meyakinkan para Voters untuk  memilih Capres yang mengangkat issue ini, bersama dengan tuntutan dari calon anggota Legislatif  DPR . 

Kita amati bahwa Pemerintahan, maupun Desakan DPR,  sebelumnya, terkait keinginan untuk menagih Divestasi dari PT Freeport ini hanya berani  hingga “30 %” sehingga tidak Mayoritas, sesuai    MOU yang ditandatangani oleh Menteri ESDM dengan FCX, yang Penulis sudah mempersoalkan hal ini dalam tulisan di Blog Snapshot ini dengan Judul :

Mengapa MOU Pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia mengurangi Divestasi dari 51% menjadi 30%: https://agungssuleiman.wordpress.com/2014/09/10/mengapa-mou-pemerintah-indonesia-dan-pt-freeport-indonesia-mengurangi-implementasi-divestasi-dari-51-menjadi-30/

Maka keseriusan dan keteguhan  dari Presiden Jokowi, yang menugaskan Tim Menteri ESDM, Menteri Keuangan dan Menteri BUMN untuk menangani permintaan kepada FCX,  melaksanakan Divestasi 51% ini, ditambah Menteri Lingkungan menangani masalah Liabilities atas aspek dampak ekosistim lingkungan yang menurut Audit BPK yang berjumlah Rp.185 Trilliun  yang marak beritanya baik didalam negeri maupun luar negeri termasuk dalam Laporan Audit di New York Stock Exchange karena FCX listed di Bursa NYSE.

Pertarungan Negosiasi yang alot dengan FCX inilah yang terjadi, dimana FCX senantiasa menunjukan attidude untuk “tidak mau melepaskan saham” dengan Harga wajar, padahal situasi keuangan FCX secara konsolidasi di Laporan Keuangan NY Stock Exchange, menunjukkan sedang mengalami kesulitan keuangan, sehingga harusnya Harga Penawaran Sahamnya tidak setinggi seperti yang ngotot ditawarkan oleh FCX.

Nah, peluang yang dilihat Menteri ESDM, adalah adanya keinginan Rio Tinto untuk tidak terlibat “lebih dalam” dan “berlarut-larut” dalam kekisruhan / kealotan negosiasi antara Tim Pemerintah dengan FCX, dimana FCX malah mengklaim akan  mengajukan tuntutan ke Arbitrasi Internasional, sehingga membuat PT Rio Tinto berpikir  untuk melepaskan dirinya sebagai pemegang Hak Partsipasi Interest, untuk mengantisipasi jika terjadi Dead Lock dalam perundungian antara Tim Pemerintah dan Tim FCX.

Maka keinginan memperjuangkan Divestasi Mayoritas 51% ini, dilakukan Menteri ESDM melalui pendekatan dengan PT Rio Tinto, untuk mendapat Harga Penawaran yang lebih rendah dari yang ditawarkan  FCX, namun ternyata harganya masih dirasakan oleh Masyarakat sebagai terlalu tinggi yaitu USD 3.85 Milyar atau sekitar Rp 56 trilliun serta USD 350 untuk membeli saham FCX di PT Indocopper Investama yang mempunyai saham 9.36% di PT Freeport.

Pertanyaannya muncul kenapa tidak menunggu sampai akhir  tahun 2021, dengan tidak memberikan persetujuan permohonan perpanjangan dari FCX, dengan alasan FCX menawarkan Harga Saham untuk Divestasi terlalu tinggi dan tidak wajar, sesuai hak yang diberikan untuk tidak memperpanjang, jika memang harga penawaran FCX tidak wajar.

Nampaknya pada ujung pergulatannya,  Menteri ESDM dan timnya, tentunya dengan keterlibatan Presiden Jokowi, tidak mau mengambil langkah menunggu sampai akhir tahun 2021, dengan menghindari tidak memberikan Permohonan Perpanjangan kepada FC dengan alasan Penawaran FCX atas Harga Saham Divestasi Tidak Wajar,  karena fakta kenyataannya,  tidak ada BUMN maupun Perusahaan Swasta Nasional yang berani dan mampu mengambil langkah ini,  mengingat  memang “Tidak Pernah ada Rencana Persiapan Road Map  Plan” yang memadai berkesinambungan yang seharusnya dipersiapkan oleh Pemerintah berkelanjutan, sebagai Pihak Penandatangan Kontrak Karya, sehingga lebih memilih untuk tetap mengandeng FCX,  yang telah jelas berpengalaman dalam menangani Kegiatan Penambangan di Papua,  khususnya dalam Tahapan Pengeplorasian dan Pengeploitasian Deep Zone, dengan risiko harus Meminjam Uang USD 3.85 Milyar dan USD 350 juta melalui Global Bond untuk membeli  Hak Partisipasi Rio Tinto yang bisa dikonversi jadi Saham di PT FI dan saham FCX di PT  Freeport. 

Menurut hemat Penulis,  langkah ini kemungkinan besar diambil oleh Pemerintah Jokowi maupun Tim Divestasi –  Menteri ESDM, Menteri Keuangan, Menteri BUMUN, agar “Tidak Kehilangan Momentum”  untuk ” Dapat Segera Merealisasi Terwujud  dan Terlaksananya Divestasi 51%  Mayoritas di PT Freeport, tanpa harus menghadapi risiko Tuntutan Gugatan dari FCX, yang tidak jelas,  akan memakan waktu berapa lama, sehingga Putusan Jokowi dengan Tim Divestasinya adalah “Suatu Pengambilan Keputusan Managemen Nasional”,  “Untuk Memberikan Kepastian Terwujudnya Divestasi 51% PT Freeport”  mumpung masih memegang “Tampuk Pimpinan Eksekutif”,  dengan segala Risiko Kritikan maupun kemungkinan terjerat dalam “Hutang Yang Besar” dari Pemegang Global Bond, serta kemungkinan Harga Tembaga Jatuh atau tidak mendapatkan pengembalian Modal dan Keuntungan yang diharapkan. 

Namun, dalam ke Vacuman Pengalaman Sebagai Mayoritas PT Freeport Indonesia,  setidak-tidaknya, PT Inalum,  dapat mengandalkan  “Partner FCX”,  yang sudah berpengalaman dalam menjalankan Kegiatan Pertambangan Umum Tembaga dan Emas, di Papua ini,  dimana FCX, juga merasa “Posisinya tidak terlalu Kuat Untuk Ngotot mempertahankan Mayoritas”, karena,  adanya Faktor Rio Tinto yang menawarkan Hak 40% Participant Interest  kepada PT Inalum dengan harga yang lebih rendah dari yang ditawarkan oleh FCX.

 Momentum inilah yang  tidak akan dapat diulang atau datang 2 (Dua) kali dalam masa pengakhiran Periode Jokowi tahun 2018 ini, sehingga Kesempatan Peluang atau “Momentum” untuk Merealisasikan Terwujudnya Menaikan Porsi saham 9 % menjadi Mayoritas 51%, hanyalah saat ini, yaitu menjelang Akhir masa Kepimpinan Tahun 2018, untuk diambil oleh Jokowi dengan Tim Menteri ESDM, Menteri Keuangan dan Menteri BUMN, serta Menteri Lingkungan Hidup, dengan setuju Membeli Hak Partisipasi Rio Tinto 40% atas Peningkatan Produksi dengan Hak dapat diKonversi menjadi Saham pada tahun 2022,  dengan     Harga      USD 3.85 Milyar atau sekitar 56 Trilliun serta USD 350 Juta untuk membeli saham FCX di PT Indocopper dan tambahan saham untuk mencapai 51% atau 51.2% Mayoritas di PT Freeport, melalui Pinjaman Global Bond,  sehingga Berita ini menjadi Head Line di Berita Financial Dunia bahwa The Battle is Over between FCX and the Government of Indonesia dengan status “Win – Win”.    

  • Pertanyaan mendasar yang akan muncul, mengingat Pembelian diatas, Dananya berasal dari Global Bond (Surat Utang) yang sangat besar Nilainya yaitu  USD 3.85 Milyar atau sekitar 56 Trilliun serta USD 350 Juta, yang harus ditanggung oleh PT Inalum yang merupakan Holding dari Beberapa BUMN, yang seharusnya bagian Hukum dari Time ESDM maupun TIM FCX sudah melakukan penelitian, sebelum mengambil Putusan diatas,  antara lain : 
a) Apakah dibutuhkan persetujuan atau Konsultasi dengan DPR,
b) Apakah memang PT Inalum berwenang untuk mencari DANA sendiri diluar APBN, dan
c) Apakah DANA perolehan PT Inalum dari Global Bond (“Surat Utang”) merupakan bagian Bentuk Dana yang harus dipertanggungung jawabkan di DPR karena penggalangan DANA nya bukan diambil dari dana APBN
d Apakah mekanisme Pengembalian oleh PT Inalum, sebagai Holding beberapa BUMN, untuk membayar Global Bond tersebut menjadi Beban Negara, karena PT Inalum sendiri terindikasi dapat mendapatkan Pinjaman Global Bond tanpa melalui persetujuan atau Konsultasi dengan DPR.

Demikianlah sajian Ringkas dari Penulis, yang mengamati  dari pandangan “keberanian”/ “keteguhan” / Kesungguhan dari  seorang yang “Memegang Tampung Pimpinan Tertinggi di Negara ini: untuk  “TIDAK KEHILANGAN MOMENTUM MEWUJUDKAN  Divestasi 51% PT FI,  dengan segala reaksi Pro dan Con, serta kritikan, karena  memang banyak sekali sudut pandangan  yang bisa dilihat, dari segala aspek  yang berbeda untuk mencapai suatu Tujuan yang sama yaitu Mensejahterakan Rakyat Indonesia dari Kekayaan Alam Tembaga dan Emas yang dikarunia oleh ALLAH kepada Bangsa Indonesia.

Jakarta, 27 Desember 2018547130_4018003258398_132607727_n diEdit 28 Desember 2018

Agung Supomo Suleiman                

Buat Blog di WordPress.com.

GLOBAL INDONESIA DAILY

MENANGKAP FENOMENA PERISTIWA DUNIA DAN INDONESIA

Mollyta Mochtar

Travel and Lifestyle Blogger Medan

The Signs

Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan?’ (adz-Dzariyat: 20)